Latar Belakang Pembentukan Provinsi Banten: Setelah Proklamasi RI hingga Awal Orde Baru (Bagian Pertama).
Era Orde Lama.
Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dimunculkan keinginan masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari Keresidenan menjadi Provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan ini muncul berkaitan dengan diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949 (Michrob dan Chudari, 1993:284). Hanya saja keinginan ini tidak mendapat tanggapan serius.
Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya pemerintahan dan parlemen baru di tingkat Pusat, kehidupan politik di Jawa Barat pun disesuaikan dengan kehidupan politik di tingkat pusat dalam bidang pemerintahan, dibentuk lembaga-lembaga pemerintahan baru yang disesuaikan dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal dua macam pemerintahan daerah, baik di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota (Kotamadya). Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah Pemerintahan Daerah Gaya Baru dan Pemerintahan Daerah Gotong Royong (Pikiran Rakjat, 28 Maret 1960).
Pemerintahan Daerah Gaya Baru dibentuk atas dasar Penpres Nomor 6 Tahun 1959 yang berlangsung dari tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal 10 Desember 1960. Pemerintahan Daerah ini tersusun atas badan eksekutif dan legislatif. Badan Eksekutif terdiri dari Gubernur yang dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Menurut ketentuannya, Gubernur dibantu oleh enam orang anggota BPH, tetapi sampai dengan akhir Pemerintahan Daerah Gaya Baru anggota BPH hanya tiga orang, yaitu satu orang wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI), satu orang wakil dari Nahdlatul Ulama (NU), dan satu orang wakil dari MURBA. Dua orang wakil dari Masyumi dan satu orang wakil dari PNI menolak untuk diangkat sebagai anggota BPH karena mereka tidak dapat melepaskan keanggotaan dari partainya masing-masing. Di samping itu, selain sebagai Kepala Daerah, Gubernur juga bertindak sebagai Ketua Badan Legislatif (Ketua DPRD Gaya Baru). DPRD Gaya Baru beranggotakan 75 orang yang tersusun dari partai-partai politik dan golongan fungsional (Suwardi dan Djajasoempena, 1965:14-15).
Setelah pembentukan DPR Gotong Royong di tingkat Pusat, di Jawa Barat pun terjadi perubahan dalam pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah Gaya Baru diganti dengan Pemerintahan Daerah Gotong Royong, mengikuti nama di tingkat Pusat. Pemerintahan Daerah Gotong Royong dibentuk atas dasar Penpres Nomor 5 Tahun 1960. Bentuk pemerintahan tersebut berlangsung sejak tanggal 10 Desember 1960 dan tersusun atas Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Badan Eksekutif terdiri dari Gubernur dengan dibantu oleh Anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH). Badan Legislatif adalah DPRD Gotong Royong dengan Gubernur sebagai Ketua. Berdasarkan ketentuan, DPRD Gotong Royong terdiri dari 75 kursi, namun tiga kursi tidak diisi karena partai-partai politik yang akan menduduki ketiga kursi tersebut tidak diakui oleh pemerintah, sehingga jumlahnya hanya 72 orang. Ketiga partai politik tersebut adalah PRIM, PRN, dan Partai Buruh. Komposisi anggota DPRD Gotong Royong terdiri dari wakil partai politik dan wakil golongan karya (Suwardi dan Djajasoempena, 1965:15-16).
Pada tahun 1963, Bupati Serang, Gogo Sandjadisdja, mengadakan acara halal bihalal dengan tokoh-tokoh masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Tokoh-tokoh yang datang bukan saja dari Banten, tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah acara halal-bihalal usai, dilanjutkan dengan rapat. Dalam rapat itulah untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya Karesidenan Banten menjadi Provinsi sendiri. Gagasan ini kemudian diwujudkan dengan membentuk Panitia "Pembentukan Provinsi Banten" (PPB). Panitia ini diketuai oleh Bupati Serang sendiri dengan pengurus yang mewakili partai-partai yang ada. Pada mulanya, unsur Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak bersedia ikut, tetapi karena Poros Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) saat itu dijadikan acuan Politik Nasional, Panitia Provinsi Banten menawarkan unsur PKI untuk duduk dalam kepanitiaan. Akhirnya terbentuk Panitia Provinsi Banten dengan unsur susunan sebagai berikut (Qorny dalam Mansur, 2001:88):
Ketua : Gogo Sandjadirdja (PSII)
Wakil Ketua : Ayip Dzuhri (NU/Front Nasional), Entol Mansur (PNI/Front Nasional), Sukra (PKI/Front Nasional).
Anggota : M. Sanusi (PSII/Front Nasoional), Toha (PKI/Anggota DPR-GR Serang), Tb. Suhari Chatib (PSII).
Panitia ini kemudian mengadakan rapat akbar di Alun-alun Serang, Ternyata gagasan untuk membentuk Provinsi Banten mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena pada waktu itu posisi politisi sipil masih kuat, maka dalam waktu yang relatif singkat, gerakan ini secara horizontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan ormas, dan juga dukungan vertikal dari kalangan eksekutif dan legislatif sewilayah Banten.
Pada tahun 1964, panitia ini menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Mendagri menyatakan bahwa masyarakat Banten tidak perlu menuntut agar Banten menjadi Provinsi karena sudah ada pemikiran dari Pemerintah Pusat yang ingin memberikan sesuatu kepada rakyat Banten. Pemerintah Pusat merasa berhutang budi pada rakyat Banten yang telah berjasa bukan saja pada tahun 1945 tetapi juga sebelumnya Banten telah bergerak menentang penjajah Belanda. Hanya, menurut Mendagri, perlu sabar menunggu kesepakatan dengan DCI (Daerah Chusus Ibukota) Jakarta yang merencanakan perluasan hingga Kabupaten Tangerang (Qorny dalam Mansur, 2001:88).
Gentur Mu'min, mantan wartawan Harian Duta Masyarakat yang terbit di Jakarta antara tahun 1964-1971, menceritakan bahwa sebenarnya pada tahun 1965 itu Banten "hampir resmi menjadi Provinsi". Namun, karena terjadi peristiwa G-30-S, hal itu tidak terlaksana. Ia menjelaskan bahwa Panitia Provinsi Banten telah mengadakan pertemuan dengan Tim DPR-GR Republik Indonesia, yang tidak diingat lagi oleh sumber tersebut tanggal dan harinya, hanya disebutkan pertemuan itu terjadi tahun 1965, bertempat di rumah H. Tubagus Kaking (Bendahara Panitia Provinsi Banten). Hadir dalam pertemuan tersebut adalah H.M. Gogo Rafiudin Sandjadirdja (Bupati Serang saat itu), H. Ayip Dzuhri (Anggota DPR-GR), dan beberapa tokoh masyarakat Banten yang datang dari Jakarta dan Bandung. Selanjutnya Tim DPR-GR RI itu berkunjung ke Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yang sama seperti Banten ingin memisahkan diri dari Provinsi induknya untuk menjadi Provinsi sendiri. Selanjutnya wartawan yang sudah sepuh itu, menjelaskan bahwa, Mendagri Mayjen Sumarno, sudah menyiapkan RUU Provinsi untuk daerah yang ingin menjadi provinsi sendiri tersebut dan telah masuk ke DPR-GR RI. Menurut H. Gentur Mu'min, itu berarti tidak lama lagi keempat daerah itu akan menjadi Provinsi sendiri (Mansur, 2001:101-102).
Perkembangan gerakan yang tampaknya bakal berhasil itu dilihat oleh PKI sebagai peluang. DN Aidit sebagai Ketua CC PKI segera membentuk CDB (Central District Bureau), organ setingkat Provinsi yakni CDB PKI Provinsi Banten pimpinan Dachlan Riva'i yang belakangan membentuk Dewan Revolusi Banten (Pola PKI). Namun, roda sejarah berbicara lain. Maksud DN Aidit tidak kesampaian di Banten, karena kemudia meletus Peristiwa G-30-S, Markas CDB PKI pun hancur diamuk massa KAPPI dan KAMI Konsulat Serang (Keterangan H. Gentur Mu'min dalam Mansur, 2001:103).
Era Awal Orde Baru.
Pasca pembubaran PKI, Soeharto kemudian berupaya menata langkah-langkah lain yang memungkinkan tercapainya secara optimal pasal-pasal Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) serta tugas yang terkandung dalam Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Untuk itu, Soeharto kemudian melakukan aksi pembersihan terhadap orang-orang yang selama ini diduga terlibat atau mendukung G30S/PKI, khususnya mereka yang ada di dalam birokrasi pemerintahan, baik sipil maupun militer (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:414). Panitia Pembentukan Provinsi Banten yang telah dibentuk sejak tahun 1963, tidak luput dari usaha membersihkan diri dari komunis. Maka unsur-unsur PKI pun dikeluarkan dari panitia. Namun pihak yang berwenang agaknya tetap menaruh kecurugaan bahwa panitia telah ditunggangi PKI. Tuduhan itu tentu saja membuat panitia goyah, apalagi Pemerintah Pusat melalui KOPKAMTIB dan LAKSUS-nya berusaha melakukan pembersihan terus menerus. Oleh karena itu, panitia memilih tidak aktif sementara. Meskipun demikian, panitia secara tegas menyetakan bahwa tidak benar panitia ditunggangi PKI dan menganggap bahwa hal itu merupakan fitnah yang sengaja ditiupkan oleh pihak yang tidak senang atas kemajuan Banten (H. Gentur Mu'min dalam Mansur, 2001:102-103).
Untuk menggalanbg kekuatan baru, panitia mulai melibatkan para aktivis Angkatan 66 di Jakarta dan Bandung yang berasal/dari Banten. Kodam Siliwangi mencermati gerakan ini secara serius karena kekhawatiran pembentukan Provinsi Banten akan dimanfaatkan oleh sisa-sisa PKI. Sekretaris Panitia Peovinsi Banten, H. Rahmatullah Sidik, menceritakan bahwa ia bersama Tubagus Kaking (Bendahara PPB) selalu mendapat pengawasan ketat dari Kodam VI Siliwangi. Bahkan setelah itu, tidak sembarang orang mau menceritakan tentang rencana pembentukan Provinsi Banten karena merasa takut oleh aparat (Qorny, dalam Mansur, 2001:89; Keterangan H. Rahmatullah Sidik dalam Mansur, 2001:104).
Bersambung ke Bagian Kedua.
Sumber: "Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Banten Iman Taqwa; Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004", Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.
Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dimunculkan keinginan masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari Keresidenan menjadi Provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan ini muncul berkaitan dengan diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949 (Michrob dan Chudari, 1993:284). Hanya saja keinginan ini tidak mendapat tanggapan serius.
Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya pemerintahan dan parlemen baru di tingkat Pusat, kehidupan politik di Jawa Barat pun disesuaikan dengan kehidupan politik di tingkat pusat dalam bidang pemerintahan, dibentuk lembaga-lembaga pemerintahan baru yang disesuaikan dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal dua macam pemerintahan daerah, baik di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota (Kotamadya). Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah Pemerintahan Daerah Gaya Baru dan Pemerintahan Daerah Gotong Royong (Pikiran Rakjat, 28 Maret 1960).
Pemerintahan Daerah Gaya Baru dibentuk atas dasar Penpres Nomor 6 Tahun 1959 yang berlangsung dari tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal 10 Desember 1960. Pemerintahan Daerah ini tersusun atas badan eksekutif dan legislatif. Badan Eksekutif terdiri dari Gubernur yang dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Menurut ketentuannya, Gubernur dibantu oleh enam orang anggota BPH, tetapi sampai dengan akhir Pemerintahan Daerah Gaya Baru anggota BPH hanya tiga orang, yaitu satu orang wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI), satu orang wakil dari Nahdlatul Ulama (NU), dan satu orang wakil dari MURBA. Dua orang wakil dari Masyumi dan satu orang wakil dari PNI menolak untuk diangkat sebagai anggota BPH karena mereka tidak dapat melepaskan keanggotaan dari partainya masing-masing. Di samping itu, selain sebagai Kepala Daerah, Gubernur juga bertindak sebagai Ketua Badan Legislatif (Ketua DPRD Gaya Baru). DPRD Gaya Baru beranggotakan 75 orang yang tersusun dari partai-partai politik dan golongan fungsional (Suwardi dan Djajasoempena, 1965:14-15).
Setelah pembentukan DPR Gotong Royong di tingkat Pusat, di Jawa Barat pun terjadi perubahan dalam pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah Gaya Baru diganti dengan Pemerintahan Daerah Gotong Royong, mengikuti nama di tingkat Pusat. Pemerintahan Daerah Gotong Royong dibentuk atas dasar Penpres Nomor 5 Tahun 1960. Bentuk pemerintahan tersebut berlangsung sejak tanggal 10 Desember 1960 dan tersusun atas Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Badan Eksekutif terdiri dari Gubernur dengan dibantu oleh Anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH). Badan Legislatif adalah DPRD Gotong Royong dengan Gubernur sebagai Ketua. Berdasarkan ketentuan, DPRD Gotong Royong terdiri dari 75 kursi, namun tiga kursi tidak diisi karena partai-partai politik yang akan menduduki ketiga kursi tersebut tidak diakui oleh pemerintah, sehingga jumlahnya hanya 72 orang. Ketiga partai politik tersebut adalah PRIM, PRN, dan Partai Buruh. Komposisi anggota DPRD Gotong Royong terdiri dari wakil partai politik dan wakil golongan karya (Suwardi dan Djajasoempena, 1965:15-16).
Pada tahun 1963, Bupati Serang, Gogo Sandjadisdja, mengadakan acara halal bihalal dengan tokoh-tokoh masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Tokoh-tokoh yang datang bukan saja dari Banten, tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah acara halal-bihalal usai, dilanjutkan dengan rapat. Dalam rapat itulah untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya Karesidenan Banten menjadi Provinsi sendiri. Gagasan ini kemudian diwujudkan dengan membentuk Panitia "Pembentukan Provinsi Banten" (PPB). Panitia ini diketuai oleh Bupati Serang sendiri dengan pengurus yang mewakili partai-partai yang ada. Pada mulanya, unsur Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak bersedia ikut, tetapi karena Poros Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) saat itu dijadikan acuan Politik Nasional, Panitia Provinsi Banten menawarkan unsur PKI untuk duduk dalam kepanitiaan. Akhirnya terbentuk Panitia Provinsi Banten dengan unsur susunan sebagai berikut (Qorny dalam Mansur, 2001:88):
Ketua : Gogo Sandjadirdja (PSII)
Wakil Ketua : Ayip Dzuhri (NU/Front Nasional), Entol Mansur (PNI/Front Nasional), Sukra (PKI/Front Nasional).
Anggota : M. Sanusi (PSII/Front Nasoional), Toha (PKI/Anggota DPR-GR Serang), Tb. Suhari Chatib (PSII).
Panitia ini kemudian mengadakan rapat akbar di Alun-alun Serang, Ternyata gagasan untuk membentuk Provinsi Banten mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena pada waktu itu posisi politisi sipil masih kuat, maka dalam waktu yang relatif singkat, gerakan ini secara horizontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan ormas, dan juga dukungan vertikal dari kalangan eksekutif dan legislatif sewilayah Banten.
Pada tahun 1964, panitia ini menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Mendagri menyatakan bahwa masyarakat Banten tidak perlu menuntut agar Banten menjadi Provinsi karena sudah ada pemikiran dari Pemerintah Pusat yang ingin memberikan sesuatu kepada rakyat Banten. Pemerintah Pusat merasa berhutang budi pada rakyat Banten yang telah berjasa bukan saja pada tahun 1945 tetapi juga sebelumnya Banten telah bergerak menentang penjajah Belanda. Hanya, menurut Mendagri, perlu sabar menunggu kesepakatan dengan DCI (Daerah Chusus Ibukota) Jakarta yang merencanakan perluasan hingga Kabupaten Tangerang (Qorny dalam Mansur, 2001:88).
Gentur Mu'min, mantan wartawan Harian Duta Masyarakat yang terbit di Jakarta antara tahun 1964-1971, menceritakan bahwa sebenarnya pada tahun 1965 itu Banten "hampir resmi menjadi Provinsi". Namun, karena terjadi peristiwa G-30-S, hal itu tidak terlaksana. Ia menjelaskan bahwa Panitia Provinsi Banten telah mengadakan pertemuan dengan Tim DPR-GR Republik Indonesia, yang tidak diingat lagi oleh sumber tersebut tanggal dan harinya, hanya disebutkan pertemuan itu terjadi tahun 1965, bertempat di rumah H. Tubagus Kaking (Bendahara Panitia Provinsi Banten). Hadir dalam pertemuan tersebut adalah H.M. Gogo Rafiudin Sandjadirdja (Bupati Serang saat itu), H. Ayip Dzuhri (Anggota DPR-GR), dan beberapa tokoh masyarakat Banten yang datang dari Jakarta dan Bandung. Selanjutnya Tim DPR-GR RI itu berkunjung ke Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yang sama seperti Banten ingin memisahkan diri dari Provinsi induknya untuk menjadi Provinsi sendiri. Selanjutnya wartawan yang sudah sepuh itu, menjelaskan bahwa, Mendagri Mayjen Sumarno, sudah menyiapkan RUU Provinsi untuk daerah yang ingin menjadi provinsi sendiri tersebut dan telah masuk ke DPR-GR RI. Menurut H. Gentur Mu'min, itu berarti tidak lama lagi keempat daerah itu akan menjadi Provinsi sendiri (Mansur, 2001:101-102).
Perkembangan gerakan yang tampaknya bakal berhasil itu dilihat oleh PKI sebagai peluang. DN Aidit sebagai Ketua CC PKI segera membentuk CDB (Central District Bureau), organ setingkat Provinsi yakni CDB PKI Provinsi Banten pimpinan Dachlan Riva'i yang belakangan membentuk Dewan Revolusi Banten (Pola PKI). Namun, roda sejarah berbicara lain. Maksud DN Aidit tidak kesampaian di Banten, karena kemudia meletus Peristiwa G-30-S, Markas CDB PKI pun hancur diamuk massa KAPPI dan KAMI Konsulat Serang (Keterangan H. Gentur Mu'min dalam Mansur, 2001:103).
Era Awal Orde Baru.
Pasca pembubaran PKI, Soeharto kemudian berupaya menata langkah-langkah lain yang memungkinkan tercapainya secara optimal pasal-pasal Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) serta tugas yang terkandung dalam Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Untuk itu, Soeharto kemudian melakukan aksi pembersihan terhadap orang-orang yang selama ini diduga terlibat atau mendukung G30S/PKI, khususnya mereka yang ada di dalam birokrasi pemerintahan, baik sipil maupun militer (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:414). Panitia Pembentukan Provinsi Banten yang telah dibentuk sejak tahun 1963, tidak luput dari usaha membersihkan diri dari komunis. Maka unsur-unsur PKI pun dikeluarkan dari panitia. Namun pihak yang berwenang agaknya tetap menaruh kecurugaan bahwa panitia telah ditunggangi PKI. Tuduhan itu tentu saja membuat panitia goyah, apalagi Pemerintah Pusat melalui KOPKAMTIB dan LAKSUS-nya berusaha melakukan pembersihan terus menerus. Oleh karena itu, panitia memilih tidak aktif sementara. Meskipun demikian, panitia secara tegas menyetakan bahwa tidak benar panitia ditunggangi PKI dan menganggap bahwa hal itu merupakan fitnah yang sengaja ditiupkan oleh pihak yang tidak senang atas kemajuan Banten (H. Gentur Mu'min dalam Mansur, 2001:102-103).
Untuk menggalanbg kekuatan baru, panitia mulai melibatkan para aktivis Angkatan 66 di Jakarta dan Bandung yang berasal/dari Banten. Kodam Siliwangi mencermati gerakan ini secara serius karena kekhawatiran pembentukan Provinsi Banten akan dimanfaatkan oleh sisa-sisa PKI. Sekretaris Panitia Peovinsi Banten, H. Rahmatullah Sidik, menceritakan bahwa ia bersama Tubagus Kaking (Bendahara PPB) selalu mendapat pengawasan ketat dari Kodam VI Siliwangi. Bahkan setelah itu, tidak sembarang orang mau menceritakan tentang rencana pembentukan Provinsi Banten karena merasa takut oleh aparat (Qorny, dalam Mansur, 2001:89; Keterangan H. Rahmatullah Sidik dalam Mansur, 2001:104).
Bersambung ke Bagian Kedua.
Sumber: "Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Banten Iman Taqwa; Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004", Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.
Latar Belakang Pembentukan Provinsi Banten: Setelah Proklamasi RI hingga Awal Orde Baru (Bagian Pertama).
Reviewed by Massaputro Delly TP.
on
Minggu, Februari 06, 2011
Rating:
Menemani malam sambil membaca sejarah Pembentukan Provinsi Banten, rasanya saya kembali ke masa itu. Terkenang kawan-kawan demikian juga tokoh-tokoh yang sudah tiada. Smoga saja mereka mendapat tempat yang penuh nikmat dan kemuliaan dari Allah SWT.
BalasHapusTrimakasih postingannya pak. Postingan bagian berikutnya saya nantikan.
Saefudin (Mantan Presidum Forban).
min, kapan kita bisa ngopi ngobrolin persoalan chasan sochib, keluarga atut, dan politik di banten?
BalasHapus