Sambungan dari Bagian Pertama.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pada tahun 1966 Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi, meresmikan Korem 064/Maulana Yusuf dengan misinya antara lain membendung gerakan Provinsi Banten. Gerakan pertama yang diagendakan Korem Maulana Yusuf Banten adalah Operasi Bhakti Siliwangi secara besar-besaran yang di tingkat Kodam Wakil Panglima Operasinya adalah Brigjen Priatna, orang Rangkasbitung yang pernah menjadi Komandan Kontingan Garuda II di Kongo-Afrika (Qorny dalam Mansur, 2001:89).
Operasi Bhakti Siliwangi Korem Banten dilaksanakan di bawah Danrem Kolonel Senior Anwar Padmawijaya. Tokoh inilah yang menjadi Danrem pertama dan yang terlama membangun infratruktur perekonomian Banten, seperti membangun gedung pertemuan umum Serang, merehabilitasi Pelabuhan Karangantu, merenovasi Masjid Agung Banten, dan juga melakukan pembangunan gedung IAIN Sunan Gunung jati Cabang Serang (kini IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), bendungan Cicurug Malingping, pemandian Batu Kuwung, dan lain-lain (Qorny dalam Mansur, 2001:89).
Misi Kolonel Anwar berhasil berkat dukungan tiga Pemerintah Daerah (Serang, Pandeglang dan Lebak). Dengan usaha ini diharapkan tercipta suatu opini bahwa masalah pembentukan Provinsi bukan soal yang urgen. Sekalipun operasi terus berlanjut, namun tidak mengurangi semangat dan tekad para penggerak Provinsi Banten. Tercatat panitia berhasil mengundang tim peninjau lapangan dari DPRD-GR Tk.I Jawa Barat pimpinan Kastura, tokoh Koperasi Jawa Barat yang berasal dari Banten Kidul dan Komisi B DPRD-GR pimpinan Brigjen (Pol) Domo Pranoto untuk mengadakan dialog dengan segenap tokoh politisi, tokok masyarakat, ormas, dan pemuda (Angkatan 66) Banten (Qorny dalam Mansur, 2001:89).
Panitia Provinsi Banten pada tanggal 20 April 1967 merumuskan "Kebulatan Tekad Panitia Provinsi Banten". Isinya diawali dengan Muqaddimah yang berisi landasan idiil dan landasan hukum untuk berdirinya Provinsi Banten. Selanjutnya dikemukakan dua syarat yang harus dimiliki untuk menjadi Provinsi yaitu syarat subyektif yaitu hasrat atau kemauan rakyat Banten untuk menjadikan daerahnya sebagai Provinsi dan syarat objektif yaitu adanya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup untuk mempertahankan keberlangsungan hidup sebuah Provinsi. Dalam surat kebulatan tekad tersebut, diuraikan tentang SDA dan SDM yang dimiliki Banten. Menyangkut SDA, dijelaskan bahwa hasil pertanian berupa padi dan palawija memadai dan bisa menjadi surplus apabila diterapkan teknologi tepat guna. Di Banten juga ada perkebunan karet, kelapa, cengkeh, lada, panila, melinjo (Banten daerah penghasil emping yang penting), dan buah-buahan. Perikanan laut juga sangat signifikan karena 75% daerah Banten dikelilingi laut. SDA yang juga menjanjikan ialah pertambangan, berupa tambang emas di Cikotok, biji besi di Cipurut, bahan semen di Anyar, belerang di Walantaka dan Padarincang, bahan mika di Bojong, intan di Cibaliung, batu bara di Gunung Kencana, Gunung Madur, dan lain-lain. Selain itu, Banten juga memiliki aset pariwisata, pantai yang indah, cagar alam Ujung Kulon, dan peninggalan sejarah dan kebudayaan yang pernah mengalami kejayaan pada masa lalu. Direncanakan pula bahwa Provinsi Banten nanti akan terdiri atas tujuh Kabupaten, yaitu Serang, Pandeglang, Lebak, Ujung Kulon, Cilangkahan, Tangerang, dan Jasinga, seta dua kotapraja yaitu Kotapraja Banten dan Cilegon dengan jumlah penduduk pada tahun 1967 sekitar empat juta orang (Mansur, 2001:107-114).
Di pihak lain, Kodam Siliwangi melakukan tindakan represif dengan melakukan penahanan dan pemeriksaan terhadap beberapa orang aktivis Provinsi Banten pada tahun 1967. Mereka adalah Moch. sanusi tokoh PSII yang jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD-GR Tk. II Serang, Tb. Kaking pejuang 45 yang sukses dalam bisnis beras serta Rachmatullah Sidik pendidik aktivis Sekber Golkar Serang.
Penahanan Mochamad Sanusi dilakukan dalam kaitan dengan saudara sepupunya yaitu Ajun Komisaris Polisi Atje Chutbi (BPH Kabupaten Serang) yang diduga terlibat dalam Dewan Revolusi (Pola PKI) Banten. Kebetulan pula, putranya yang bernama Cholid adalah aktivis Pemuda Rakyat (PKI) golongan B. Baik Atje Chutbi maupun Cholid bukan termasuk pengurus atau aktivis Provinsi Banten. Secara berlebihan, Pangdam Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono membuat pernyataan yang dikutip harian Pikiran Rakyat, yang intinya menuding gerakan ini sebagai pola PKI (Mansur, 2001:116-121).
Uwes Qorny menyatakan bahwa pada tahun 1968, ketika ia menjadi Ketua Dewan Pimpinan KAPPI Daerah Jawa Barat merencanakan akan menyelenggarakan rapat pimpinan KAPPI se-Jawa Barat di Serang. Ia didatangi tiga orang utusan KAPPI Pusat yang terdiri dari unsur IPNU (Partai NU), IPM (Muhammadiyah), SEPMI (PSII). Mereka menanyakan tentang acara rapat apakah akan membahas isu Provinsi Banten. Pertanyaan itu mengundang keheranan di benak Uwes, mengingat masalah Provinsi Banten tidak terfikirkan untuk dibawa ke dalam rapat KAPPI yang berskala nasional sehingga ia balik bertanya kepada para utusan itu apa latar belakang pertanyaan itu. Mereka membuka kartu, bahwa mereka membawa pesan Brigjen Ali Moertopo, Aspri (Asisten Pribadi) Politik Presiden Soeharto yang sangat berpengaruh serta Komandan Opsus (Operasi Khusus). Secara persuasif Brigjen Ali Moertopo menyampaikan pesan kepada Uwes agar KAPPI Jawa Barat tidak membahas Provinsi Banten demi keutuhan KAPPI dan tidak memecahbelah KAPPI Banten dan KAPPI Priangan. Kemudian pada tahun 1970, Gubernur Jawa Barat melalui Kepala Direktorat Khusus Provinsi Jawa Barat Kolonel Abdullah Prawirakusumah, bersama para tokoh masyarakat dan mahasiswa Banten di Bandung melakukan penggalangan pendekatan dengan segenap komponen di Banten. Sementara itu, Ali Moertopo mengirim Muhammad Danu Hasan, mantan Panglima DI/TII Jabar yang digunakan Opsus. Dengan demikian telah berlangsung operasi penggalangan bersama yang dilakukan oleh Pusat dan Gubernur Jawa Barat untuk mencari titik temu antara dua keinginan yang berbeda dalam masalah Provinsi Banten (Mansur, 2001:90).
Operasi Bhakti Siliwangi Korem Banten dilaksanakan di bawah Danrem Kolonel Senior Anwar Padmawijaya. Tokoh inilah yang menjadi Danrem pertama dan yang terlama membangun infratruktur perekonomian Banten, seperti membangun gedung pertemuan umum Serang, merehabilitasi Pelabuhan Karangantu, merenovasi Masjid Agung Banten, dan juga melakukan pembangunan gedung IAIN Sunan Gunung jati Cabang Serang (kini IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), bendungan Cicurug Malingping, pemandian Batu Kuwung, dan lain-lain (Qorny dalam Mansur, 2001:89).
Misi Kolonel Anwar berhasil berkat dukungan tiga Pemerintah Daerah (Serang, Pandeglang dan Lebak). Dengan usaha ini diharapkan tercipta suatu opini bahwa masalah pembentukan Provinsi bukan soal yang urgen. Sekalipun operasi terus berlanjut, namun tidak mengurangi semangat dan tekad para penggerak Provinsi Banten. Tercatat panitia berhasil mengundang tim peninjau lapangan dari DPRD-GR Tk.I Jawa Barat pimpinan Kastura, tokoh Koperasi Jawa Barat yang berasal dari Banten Kidul dan Komisi B DPRD-GR pimpinan Brigjen (Pol) Domo Pranoto untuk mengadakan dialog dengan segenap tokoh politisi, tokok masyarakat, ormas, dan pemuda (Angkatan 66) Banten (Qorny dalam Mansur, 2001:89).
Panitia Provinsi Banten pada tanggal 20 April 1967 merumuskan "Kebulatan Tekad Panitia Provinsi Banten". Isinya diawali dengan Muqaddimah yang berisi landasan idiil dan landasan hukum untuk berdirinya Provinsi Banten. Selanjutnya dikemukakan dua syarat yang harus dimiliki untuk menjadi Provinsi yaitu syarat subyektif yaitu hasrat atau kemauan rakyat Banten untuk menjadikan daerahnya sebagai Provinsi dan syarat objektif yaitu adanya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup untuk mempertahankan keberlangsungan hidup sebuah Provinsi. Dalam surat kebulatan tekad tersebut, diuraikan tentang SDA dan SDM yang dimiliki Banten. Menyangkut SDA, dijelaskan bahwa hasil pertanian berupa padi dan palawija memadai dan bisa menjadi surplus apabila diterapkan teknologi tepat guna. Di Banten juga ada perkebunan karet, kelapa, cengkeh, lada, panila, melinjo (Banten daerah penghasil emping yang penting), dan buah-buahan. Perikanan laut juga sangat signifikan karena 75% daerah Banten dikelilingi laut. SDA yang juga menjanjikan ialah pertambangan, berupa tambang emas di Cikotok, biji besi di Cipurut, bahan semen di Anyar, belerang di Walantaka dan Padarincang, bahan mika di Bojong, intan di Cibaliung, batu bara di Gunung Kencana, Gunung Madur, dan lain-lain. Selain itu, Banten juga memiliki aset pariwisata, pantai yang indah, cagar alam Ujung Kulon, dan peninggalan sejarah dan kebudayaan yang pernah mengalami kejayaan pada masa lalu. Direncanakan pula bahwa Provinsi Banten nanti akan terdiri atas tujuh Kabupaten, yaitu Serang, Pandeglang, Lebak, Ujung Kulon, Cilangkahan, Tangerang, dan Jasinga, seta dua kotapraja yaitu Kotapraja Banten dan Cilegon dengan jumlah penduduk pada tahun 1967 sekitar empat juta orang (Mansur, 2001:107-114).
Di pihak lain, Kodam Siliwangi melakukan tindakan represif dengan melakukan penahanan dan pemeriksaan terhadap beberapa orang aktivis Provinsi Banten pada tahun 1967. Mereka adalah Moch. sanusi tokoh PSII yang jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD-GR Tk. II Serang, Tb. Kaking pejuang 45 yang sukses dalam bisnis beras serta Rachmatullah Sidik pendidik aktivis Sekber Golkar Serang.
Penahanan Mochamad Sanusi dilakukan dalam kaitan dengan saudara sepupunya yaitu Ajun Komisaris Polisi Atje Chutbi (BPH Kabupaten Serang) yang diduga terlibat dalam Dewan Revolusi (Pola PKI) Banten. Kebetulan pula, putranya yang bernama Cholid adalah aktivis Pemuda Rakyat (PKI) golongan B. Baik Atje Chutbi maupun Cholid bukan termasuk pengurus atau aktivis Provinsi Banten. Secara berlebihan, Pangdam Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono membuat pernyataan yang dikutip harian Pikiran Rakyat, yang intinya menuding gerakan ini sebagai pola PKI (Mansur, 2001:116-121).
Uwes Qorny menyatakan bahwa pada tahun 1968, ketika ia menjadi Ketua Dewan Pimpinan KAPPI Daerah Jawa Barat merencanakan akan menyelenggarakan rapat pimpinan KAPPI se-Jawa Barat di Serang. Ia didatangi tiga orang utusan KAPPI Pusat yang terdiri dari unsur IPNU (Partai NU), IPM (Muhammadiyah), SEPMI (PSII). Mereka menanyakan tentang acara rapat apakah akan membahas isu Provinsi Banten. Pertanyaan itu mengundang keheranan di benak Uwes, mengingat masalah Provinsi Banten tidak terfikirkan untuk dibawa ke dalam rapat KAPPI yang berskala nasional sehingga ia balik bertanya kepada para utusan itu apa latar belakang pertanyaan itu. Mereka membuka kartu, bahwa mereka membawa pesan Brigjen Ali Moertopo, Aspri (Asisten Pribadi) Politik Presiden Soeharto yang sangat berpengaruh serta Komandan Opsus (Operasi Khusus). Secara persuasif Brigjen Ali Moertopo menyampaikan pesan kepada Uwes agar KAPPI Jawa Barat tidak membahas Provinsi Banten demi keutuhan KAPPI dan tidak memecahbelah KAPPI Banten dan KAPPI Priangan. Kemudian pada tahun 1970, Gubernur Jawa Barat melalui Kepala Direktorat Khusus Provinsi Jawa Barat Kolonel Abdullah Prawirakusumah, bersama para tokoh masyarakat dan mahasiswa Banten di Bandung melakukan penggalangan pendekatan dengan segenap komponen di Banten. Sementara itu, Ali Moertopo mengirim Muhammad Danu Hasan, mantan Panglima DI/TII Jabar yang digunakan Opsus. Dengan demikian telah berlangsung operasi penggalangan bersama yang dilakukan oleh Pusat dan Gubernur Jawa Barat untuk mencari titik temu antara dua keinginan yang berbeda dalam masalah Provinsi Banten (Mansur, 2001:90).
Tim Kolonel Abdullah berhasil membuat semacam konsensus dengan rakyat Banten yang menandaskan bahwa secara substantif tuntutan Provinsi Banten merupakan hak dan aspirasi rakyat namun waktunya dianggap belum tepat. Meskipun hal ini dianggap menutup harapan untuk terwujudnya Provinsi Banten, pada tanggal 24 Agustus 1970. Dua puluh tujuh orang anggota DPR-GR dengan juru bicara Bustaman, SH, mengajukan usul inisiatif membuat RUU Pembentukan Provinsi Banten. Usul ini tidak sempat disidangkan karena banyaknya hambatan, antara lain, Gubernur Solihin GP tidak siap melepas Banten dan Pemerintah Pusat tidak memberikan lampu hijau. Sementara itu rekomendasi DPR-GR Tk.I Jawa Barat menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat.
Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten. Duduk sebagai Ketua Penasehat Tb. Bachtiar Rifa'i, dengan Ketua Ayip Abdurahman, dan Sekretaris Achmad Nurjani. Duduk pula sebagai anggota Uwes Qorny, yang 30 tahun kemudian kembali menggelar keinginan masyarakat Banten untuk mendirikan Provinsi sendiri. Selain itu, ada juga Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus, yang ikut andil dalam era reformasi nanti (Supandri, 2002:32-33).
Ada satu hal yang membanggakan masyarakat Banten, pada tahun 1970 ini, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 45/TK/1970. Yang tidak menggembirakan adalah bahwa DPR-GR hasil Pemilu 1971 ternyata tidak mengagendakan RUU Provinsi Banten. Setelah itu, masyarakat Banten agaknya terpaksa berdiam diri, sepanjang sisa masa Orde baru. Memang ada satu atau dua kali aksi mahasiswa Banten di Bandung yang berunjuk rasa, tetapi tidak memberikan gaung yang diharapkan.
Dengan pendekatan keamanan yang dikendalikan dari Bina Graha mampu menjaga sifat kenegaraan yang patrimonialistis. Hingga tiba-tiba saja 26 tahun kemudian ketika kekuasaan Orde Baru mulai goyah, pada bulan Agustus 1997, Uwes Qorny diwawancara oleh Lukman Hakim dari Harian Merdeka tentang perlunya dibentuk Provinsi Banten. Dalam berita berjudul "Uwes Qorny: Saatnya Banten Menjadi Provinsi ke-28" diungkapkan bahwa permintaan Banten menjadi Provinsi ke-28 adalah hak rakyat dan merupakan aspirasi dinamis yang legal diungkapkan pula secara kronologis tentang gagasan untuk membentuk Provinsi Banten. Dengan munculnya berita ini, masyarakat Banten seakan dibangunkan dari tidurnya (Qorny dalam Mansur, 2001:94).
Ketika Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan Maret 1998, muncul reaksi negatif dari berbagai kalangan, khususnya kekuatan-kekuatan dalam infrastruktur politik yang menginginkan adanya perubahan Pemimpin Nasional. Reaksi semakin keras ketika Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinet pada tanggal 14 Maret 1998. Berbagai komentar bermunculan atas susunan kabinet yang dipandang sarat dengan nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam kabinet tersebut, tidak hanya tampak kroni-kroni Soeharto, tetapi juga tampak salah seorang putri Soeharto, Siti hardiyanti Rukmana, yang dipercaya menduduki kursi Menteri Sosial.
Rakyat seperti benar-benar telah kehilangan kepercayaan terhadap Pemerintah. Harapan untuk memperoleh pemerintahan yang bersih dan diharapkan mampu membawa bangsa dan negara keluar dari krisis yang terjadi seakan menjadi sirna dengan tampilnya kabinet yang sarat KKN. Merasa pemerintahan baru yang tadinya diharapkan dapat mengatasi krisis global sudah tidak dapat diharapkan lagi, rakyat pada akhirnya semakin terdorong untuk mengambil cara sendiri-sendiri dalam mengatasi kekecewaannya.
Upaya terakhir Presiden Soeharto guna mengembalikan kepercayaan rakyat dengan melakukan upaya penyelamatan melalui reshuffle kabinet gagal, para calon menteri yang diminta duduk pun sudah tidak berminat mendukungnya lagi. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto meletakkan jabatannya dan Wakil Presiden BJ. Habibie pun disumpah sebagai Presiden baru.
Bersambung ke Bagian Ketiga.Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten. Duduk sebagai Ketua Penasehat Tb. Bachtiar Rifa'i, dengan Ketua Ayip Abdurahman, dan Sekretaris Achmad Nurjani. Duduk pula sebagai anggota Uwes Qorny, yang 30 tahun kemudian kembali menggelar keinginan masyarakat Banten untuk mendirikan Provinsi sendiri. Selain itu, ada juga Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus, yang ikut andil dalam era reformasi nanti (Supandri, 2002:32-33).
Ada satu hal yang membanggakan masyarakat Banten, pada tahun 1970 ini, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 45/TK/1970. Yang tidak menggembirakan adalah bahwa DPR-GR hasil Pemilu 1971 ternyata tidak mengagendakan RUU Provinsi Banten. Setelah itu, masyarakat Banten agaknya terpaksa berdiam diri, sepanjang sisa masa Orde baru. Memang ada satu atau dua kali aksi mahasiswa Banten di Bandung yang berunjuk rasa, tetapi tidak memberikan gaung yang diharapkan.
Dengan pendekatan keamanan yang dikendalikan dari Bina Graha mampu menjaga sifat kenegaraan yang patrimonialistis. Hingga tiba-tiba saja 26 tahun kemudian ketika kekuasaan Orde Baru mulai goyah, pada bulan Agustus 1997, Uwes Qorny diwawancara oleh Lukman Hakim dari Harian Merdeka tentang perlunya dibentuk Provinsi Banten. Dalam berita berjudul "Uwes Qorny: Saatnya Banten Menjadi Provinsi ke-28" diungkapkan bahwa permintaan Banten menjadi Provinsi ke-28 adalah hak rakyat dan merupakan aspirasi dinamis yang legal diungkapkan pula secara kronologis tentang gagasan untuk membentuk Provinsi Banten. Dengan munculnya berita ini, masyarakat Banten seakan dibangunkan dari tidurnya (Qorny dalam Mansur, 2001:94).
Ketika Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan Maret 1998, muncul reaksi negatif dari berbagai kalangan, khususnya kekuatan-kekuatan dalam infrastruktur politik yang menginginkan adanya perubahan Pemimpin Nasional. Reaksi semakin keras ketika Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinet pada tanggal 14 Maret 1998. Berbagai komentar bermunculan atas susunan kabinet yang dipandang sarat dengan nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam kabinet tersebut, tidak hanya tampak kroni-kroni Soeharto, tetapi juga tampak salah seorang putri Soeharto, Siti hardiyanti Rukmana, yang dipercaya menduduki kursi Menteri Sosial.
Rakyat seperti benar-benar telah kehilangan kepercayaan terhadap Pemerintah. Harapan untuk memperoleh pemerintahan yang bersih dan diharapkan mampu membawa bangsa dan negara keluar dari krisis yang terjadi seakan menjadi sirna dengan tampilnya kabinet yang sarat KKN. Merasa pemerintahan baru yang tadinya diharapkan dapat mengatasi krisis global sudah tidak dapat diharapkan lagi, rakyat pada akhirnya semakin terdorong untuk mengambil cara sendiri-sendiri dalam mengatasi kekecewaannya.
Upaya terakhir Presiden Soeharto guna mengembalikan kepercayaan rakyat dengan melakukan upaya penyelamatan melalui reshuffle kabinet gagal, para calon menteri yang diminta duduk pun sudah tidak berminat mendukungnya lagi. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto meletakkan jabatannya dan Wakil Presiden BJ. Habibie pun disumpah sebagai Presiden baru.
Sumber: "Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Banten Iman Taqwa; Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004", Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.
Perjuangan Pembentukan Provinsi Banten di Era Orde Baru (Bagian Kedua)
Reviewed by Massaputro Delly TP.
on
Minggu, Februari 06, 2011
Rating:
Tidak ada komentar: