Perjuangan Pembentukan Provinsi Banten di Era Reformasi (Bagian Ketiga)




Sambungan dari Bagian Kedua.


Dengan berakhirnya Orde Baru yang cenderung represif, kini masyarakat seakan menghirup udara segar demokrasi. Namun demikian, manuver politik Habibie lewat kabinetnya ini bisa dikatakan kurang mendapat respons positif dari masyarakat. Akan tetapi, untuk menjawab tuntutan masyarakat Habibie mengeluarkan kebijakan berupa pembaruan perangkat perundangan, pembebasan para tahanan politik, pembukaan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai politik, dan pembaruan hukum dan hak azasi manusia. Di bidang ekonomi, Habibie pun berupaya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menurunkan tingkat inflasi, melaksanakan pemulihan ketersediaan dan keterjangkauan ekonomi, pengembangan ekonomi kerakyatan, restrukturisasi perbankan, dan perbaikan kurs rupiah. Kebijakan pembebasan tahanan politik yang dilakukan Habibie sedikit banyaknya berhasil mengangkat citra Pemerintahan Habibie sebagai pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Dukungan atas kebijakan ini tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.

Manuver Habibie mengadakan berbagai perubahan politik untuk mendongkrak simpati rakyat terhadap pemerintahannya lambat laun melahirkan harapan positif rakyat terhadap eksistensi pemerintahan yang dipimpin Habibie. Inilah peluang baru bagi masyarakat Banten untuk merealisasikan keinginan yang lama terpendam.

Sehari setelah Presiden Soeharto lengser, ribuan masyarakat Banten dengan dipimpin H. Embay Mulya Syarif dan sejumlah tokoh muda Banten, mendatangi Senayan untuk menyatakan dukungan kepada BJ. Habibie. Ketika dilakukan Sidang Istimewa pada tanggal 10 November 1998, pemerintah memutuskan diadakannya Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) untuk mengamankan jalannya sidang. Sekali lagi, rombongan warga Banten datang untuk ikut menjadi Pamswakarsa (Mansur, 2001:124).

Pada awal tahun 1999, Presiden BJ. Habibie merencanakan kunjungan kerja ke Banten. Pada akhir bulan Januari 1999, H. Embay Mulya Syarif dengan disertai beberapa Kiai dan tokoh lainnya dipanggil ke Istana Presiden dalam rangka persiapan kunjungan ini. Sebagaimana direncanakan pada hari Jumat, 5 Februari 1999 Presiden BJ. Habibie berkunjung ke Banten. Tempat pertemuan yang dipilih adalah Pondok Pesantren Darul Iman Pandeglang yang dipimpin KH. Aminuddin Ibrahim. Sesuai dengan skenario yang sudah dirancang, dihadapan Gubernur Jawa Barat dan para menteri yang datang, yaitu Mensesneg Akbar Tanjung, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama Malik Fajar, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Iman, KH. Aminuddin Ibrahim mengusulkan agar wilayah eks Karesidenan Banten ditingkatkan menjadi Provinsi Banten. Dalam kesempatan itu, BJ. Habibie tidak menolak usulan itu, hanya mengatakan bahwa usulan itu harus melalui mekanisme konstitusional. Usul serupa diajukan oleh KH. Mansur Muchjidin dalam acara dialog Presiden dengan para ulama di Cilegon. Respons Presiden BJ. Habibie dalam kunjungan itu sama seperti di Pandeglang (Mansur, 2001:127).

Masyarakat Banten merasa mendapat angin segar dengan respons Presiden RI ke-3 ini, hal ini diberitakan di berbagai media cetak di Banten dan media elektronik. Surat kabar mingguan Banten Ekspres, memuat berbagai berita tentang kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan rencana pembentukan Provinsi Banten, juga artikel-artikel yang mendukung rencana tersebut. Keinginan masyarakat ini dimanfaatkan oleh Partai-partai politik yang sedang berkampanye menjelang Pemilu. Misalnya Partai MKGR, dalam kampanye di Pandeglang jelas-jelas menyatakan sangat mendukung keinginan masyarakat Banten tersebut. Partai Bulan Bintang (PBB) juga demikian. Bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) berani kampanye "PAN menang, Provinsi Banten jadi!" (Mansur, 2001:130; wawancara dengan Indra Abidin, 20 Agustus 2003).

Pada awal tahun 1999, dengan mengambil tempat di Kampung Gardu Tanjak Pandeglang, diselenggarakan halal bihalal Yayasan Sumur Tujuh dan reuni para mantan siswa SMP Pandeglang. Dalam kesempatan itu, Ekky Syahruddin berbicara soal reformasi. Ia antara lain menganjurkan agar masyarakat Banten memanfaatkan peluang reformasi untuk membuka kembali wacana pembentukan Provinsi Banten. Pertemuan semacam itu juga dilakukan di Sekolah Menengah Analis Kimia di Serang dan ternyata pertemuan itu selangkah lebih maju. Peserta pertemuan merencanakan unjuk rasa ke DPR di Jakarta. Beberapa hari setelah pertemuan itu, dengan menggunakan lima bus para pemuda Banten berangkat ke DPR RI di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi pembentukan Provinsi Banten. Hanya saja karena tidak terencana secara matang, unjuk rasa ini tidak menghasilkan apa-apa. Namun setidak-tidaknya hal ini dipandang sebagai langkah awal kaum muda Banten untuk membuka wacana lanjutan tentang Provinsi Banten. Langkah selanjutnya yang lebih terarah dilakukan kaum muda di Serang yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia (GPRI). Berbagai pertemuan dan diskusi dilangsungkan di rumah H. Sanusi Al-Mariz di Komplek DPRD Serang. Para pemuda ini juga melakukan kunjungan kepada para pemuka intelektual seperti H.M.A. Tihami (Rektor STAIN Banten) dan Hasan Muarif Ambary (Kepala Puslit Arkeologi Nasional). Selanjutnya dilakukan pertemuan-pertemuan di Hotel Patra jasa Anyer yang menghasilkan Panitia Musyawarah Masyarakat Banten dengan Ketuanya Agus Najiullah Ibrahim didampingi Aenk Chaerudin dan Udin Saparudin. Beberapa pengusaha Banten diminta memberikan kontribusi untuk pembiayaan musyawarah. (Wawancana dengan Indra Abidin, tanggal 2 September 2003 di Jakarta).

Atas gagasan KH. Irsyad Djuwaeli (Ketua Mathlaul Anwar Banten), didirikan Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten. Beberapa tokoh masyarakat ikut bergabung di dalamnya. Berbagai pertemuan dilakukan untuk membuat perencanaan-perencanaan tentang Pembentukan Provinsi Banten (PPB). Rupanya, bukan hanya kelompok ini yang memikirkan tentang PPB, berbagai kelompok lain muncul. Pada pertengahan bulan Juli 1999 di Serang dibentuk Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB) dengan diketuai H. Uwes Qorny. Kegiatan pertamanya adalah mengadakan rapat akbar bertempat di Alun-Alun Barat Kota Serang. Dalam rapat akbar ini dibacakan Deklarasi Rakyat Banten 1999 yang ditandatangani oleh 30 orang tokoh Banten, antara lain Uwes Qorny, Uu Mangkusasmita, Djajuli Mangkusubrata, Gunawan, Soiyan Ichsan, dan lain-lain. Deklarasi berbunyi sebagai berikut:

"Bismillahirrahmanirrahim. Kami, Rakyat Banten, dengan ini menyatakan bahwa Provinsi Daerah Tingkat I Banten sudah saatnya dibentuk. Hal-hal lain yang menyangkut legalisasi hendaknya diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam tempo secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan kami. Amien. Serang, Ahad Rabiul Tsani 1420/Minggu 18 Juli 1999" (Mansur, 2001:174-175).

Pengakuan pemerintah terhadap keinginan rakyat Banten ini mulai tampak ketika akhir Juli 1999, Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid dalam kesempatan Wisuda Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor-Sumedang menyatakan bahwa keinginan masyarakat Banten adalah suatu hal yang wajar dan perlu diproses. Pernyataan Mendagri ini disambut hangat masyarakat Banten. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1999 digelar Seminar Nasional "Mempertegas Proyeksi Terwujudnya Provinsi Banten", bertempat di Hotel Patra Jasa Anyer. Tampil sebagai pembicara adalah Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Ekky Syahruddin (Anggota DPRRI), Irsyad Djuwaeli (Ketua PB Mathlaul Anwar), HMA. Tihami (Ketua STAIN SMHB), Herman Ibrahim (Kahumas Depdagri), dan R. Gunawan. Para pembicara yang melihat dari masing-masing bidang menganggap bahwa Provinsi Banten memang layak diwujudkan. Dalam seminar yang dihadiri para tokoh masyarakat Banten ini, yang penting adalah pengesahan Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten (Pokja PPB) yang diketuai Irsyad Djuwaeli, dengan Sekretaris Umum Rusli Ridwan, dan Bendahara R. Gunawan, dan duduk sebagai penasehat sejumlah tokoh Banten seperti Ekky Syahruddin, H. Tubagus Bachtiar Rifa'i, TB. Chasan Sochib, Uwes Qorny, H. Embay Mulya Syarif, H. Djoko Munandar, Tb. Farich Nahril, Djajuli Mangkusubrata, Uu Mangkusubrata, dan lain-lain.

Sosialisasi untuk mendirikan Provinsi Banten terus digulirkan melalui berbagai media, cetak dan elektronik. Dalam berita-berita diungkapkan bahwa usaha untuk mendirikan Provinsi Banten sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1953. Respons dan antusiasme berbagai kalangan masyarakat terhadap ide PPB telah mendorong beberapa tokoh elite untuk mengkonsolidasikan diri secara lebih teratur, sistematis, dan terorganisasi.

Sementara itu gagasan tentang PPB bergulir terus, masih bulan Agustus 1999 dibentuklah Badan Pekerja Komite PPB di Kampung Pari Kecamatan Mandalawangi Pandeglang. Badan ini bertugas menyusun kepengurusan di tiap kabupaten. Pada waktu itu disusun Pengurus Sub-Komite PPB (SK-PPB) Kabupaten Pandeglang dengan Ketua Aceng Ishak. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1999 diadakan pertemuan di Pondok Kharisma Labuan dan menghasilkan Forum Silaturahim Warga Pandeglang (Fosgalang) yang akan memperkuat perjuangan SK-PPB Pandeglang. Selanjutnya pada tanggal 11 September 1999 di Gedung Ghra Pancasila Pandeglang, SK-PPB Pandeglang dideklarasikan sekaligus pelantikan pengurus Fosgalang. Organisasi ini diketuai oleh H. Djadjat Mudjahidin, Wakil Ketua KH. Aminuddin Ibrahim, dengan Ketua Penasehat HM. Zein (Mantan Bupati Pandeglang). Dalam acara itu SK-PPB Pandeglang mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya antara lain mendesak kepada Pemda dan DPRD pandeglang untuk segera memproses pendirian Provinsi Banten.

Aktivitas di Pandeglang ini sangat menarik terutama bila kemudian dikaitkan dengan pernyataan seorang tokoh yang bersifat legitimasi historis. Ia menyatakan bahwa kakeknya pernah berpesan bahwa bila ingin mewujudkan Provinsi Banten kalau mau berhasil harus dimulai dari Pandeglang, di Tutugan Pulosari. Oleh karena itu, ketika diadakan pertemuan di Kampung Pari, ia merasa yakin akan berhasil, karena Tutugan Pulosari adalah bekas Kerajaan Salanagara dahulu. Hal ini menarik karena pernyataan dibuat setelah Provinsi Banten berdiri, atau pernyataan bersifat post-eventum.

Pada tanggal 20 September 1999, pengurus SK-PPB Daerah Bandung Raya dibentuk, dengan Ketua H. Muslim Djamaludin, Sekretaris Tb. Kun Maulawarman. Pada saat yang sama dibentuk pula SK-PPB Kabupaten Serang dengan Ketua Achmad Sudidja. Menyingkapi apa yang terjadi di Banten, Pemda Jawa Barat mulai memperlihatkan sikap karena kalau Banten berdiri sendiri, itu artinya sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang, belum lagi dampak lainnya. Rombongan unsur-unsur masyarakat Banten beupaya datang ke Gedung Sate Bandung untuk menyampaikan aspirasi mereka. Pada tanggal 4 Oktober 1999, Forban (Forum Pergerakan Mahasiswa Banten) yang terdiri dari beberapa unsur organisasi mahasiswa kedaerahan yang berdomisili di Bandung, antara lain Kumandang (Keluarga Mahasiswa Pandeglang, Kumala (Keluarga Mahasiswa Lebak), Himata (Himpunan Mahasiswa Tangerang), KMC (Keluarga Mahasiswa Cilegon), IMB (Ikatan Mahasiswa Banten), KMB (Keluarga Mahasiswa Banten), IKMB (Ikatan Keluarga Mahasiswa Banten), dan Kamayasa (Keluarga Besar Mahasiswa Tirtayasa), salah satu presidiumnya adalah Saefudin, dan sebagai koordinator divisi aksi yaitu Iwan Ridwan, datang untuk berdialog dengan Gubernur Jawa Barat pada tanggal 29 Oktober 1999.

Gubernur Jawa Barat HR. Nuriana menyerahkan bantuan dari Yayasan "Saung Kadeudeuh" untuk masyarakat Banten, berupa bantuan uang muka rumah RSS bagi 156 pegawai golongan I dan II di Kabupaten Lebak, sebesar Rp218,4 juta. Dalam kesempatan itu, Gubernur mempertanyakan apakah keinginan untuk mendirikan Provinsi Banten itu merupakan keinginan segelintir elite atau memang keinginan rakyat? Gubernur menyarankan agar diadakan referendum. Secara diplomatis Gubernur juga menyatakan bahwa ia tidak menghalang-halangi PPB, sepanjang itu dilakukan secara demokratis dan konstitusional (Pikiran Rakyat, 30 Oktober 1999).

Sebagai kelanjutan berdirinya KPPB, pada tanggal 2 November 1999 dibentuk Pengurus Sub-Komite Pembentukan Provinsi Banten (SK-PPB) di Kabupaten dan Kota Tangerang yang diketuai oleh H. Tamin HR, dan pada hari yang sama dibentuk pula pengurus SK-PPB di Cilegon yang diketuai oleh H. Zaidan Rivai (Ketua DPRD Cilegon). Dalam perjalanan waktu yang relatif cepat, ada dua organisasi PPB yang besar yaitu KPPB yang telah berdiri tanggal 18 Juli 1999 dan Pokja PPB yang berdiri tanggal 1 Agustus 1999. Ketua kedua organisasi ini sama-sama berasal dari Rangkasbitung dan umur organisasi keduanya hanya terpaut dua minggu saja. Namun tampaknya ada ketidakcocokan diantara kedua ketuanya, meskipun sudah ada upaya untuk mencari wadah koordinasi untuk mempersatukan KPPB dan Pokja PPB, agaknya tindakan Pokja PPB dibalas oleh KPPB. Pada tanggal 6-7 November 1999 dilangsungkan Rapat Koordinasi (Rakor) KPPB yang dilaksanakan di Islamic Centre Serang. Dalam Rakor ini, Pojka PPB tidak diundang. Rakor ini dihadiri oleh perwakilan dari empat kapupaten dan dua kota di Banten. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pertemuan pada tanggal 20-24 November 1999 di Pondok Kharisma Labuan yang menghasilkan pokok-pokok pokiran setebal 10 halaman. Dirumuskan oleh Tim Sembilan yaitu Uwes Qorny, Eutik Suwarta, Aceng Ishak, HE Tjutju Suryalaga, Agus Aan Heryana, Yayat Hasrat Triana, Dede Biul, H. Djadjat Mudjahidin, dan KH. Djunaedi. Pokok-pokok pikiran yang disebut "Buku Biru" itu memuat Visi dan Misi Provinsi Banten, Rencana Kerja KPPB dan Rekomendasi KPPB. Selanjutnya, masih di bulan November, "Buku Biru" itu disampaikan kepada DPRD se-wilayah Karesidenan Banten, DPRD Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, DPR-RI, dan Presiden Abdurahman Wahid.

Perseteruan antara Pokja PPB dengan KPPB meletup ketika pada tanggal 27 November 1999, Tim Pokja PPB mengadakan pertemuan di Rumah Makan Sari Kuring Cilegon. Dalam acara itu diundang para Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Ekky Syahruddin, SE (Anggota DPRRI), Tb. H. Farich Nahril, H. Chasan Sochib, dan lain-lain. Sementara, pengurus KPPB tidak diundang secara tertulis. Namun atas saran H. Chasan Sochib, pengurus KPPB diminta hadir. Ternyata dalam pertemuan itu, para tokoh KPPB hanya menjadi penonton sehingga suasana pertemuan menjadi tegang. Ekky Syahruddin yang menjadi pemandu acara berusaha mengharmoniskan suasana dengan meminta Iwa Tuskana wakil KPPB untuk angkar bicara. Ketika berbicara itulah tercetus luapan emosi kekecewaan KPPB bahkan tiba-tiba saja terdengar gelas-gelas pecah. Meskipun Ekky berusaha keras mengatasi situasi, para pengurus KPPB akhirnya meninggalkan acara sebelum pertemuan usai. Pada malam itu diumumkan juga dana perjuangan yang berhasil dikumpulkan dari para bupati, walikota, dan para tokoh Banten.

Melihat sikap masyarakat Banten yang begitu antusias dengan PPB, wakil-wakil rakyat di Dewan tingkat Kabupaten/Kota se-Karesidenan Banten cepat tanggap dengan aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. Pada tanggal 2 Desember 1999, DPRD Kabupaten Serang memberikan keputusan untuk menyetujui Pembentukan Provinsi Banten.

Isu tentang Provinsi Banten terus bergema, para tokoh Banten berusaha mendapatkan dukungan dari Mendagri. Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten lainnya mendapat kesempatan untuk bertemu Mendagri Suryadi Sudirja, setelah Menteri meresmikan pameran lukisan di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3 Desember 1999. Dalam pertemuan yang dilakukan di restoran hotel tersebut, para tokoh Banten yang hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini, H. Uwes Qorny, KH. Irsyad Djuwaeli, Aly Yahya, HMA. Tihami, dan H. Tb. Chasan Sochib. Mendagri memberikan saran bila rakyat Banten memang telah bulat. Tb.H. Farich Nahril, masih ada hubungan keluarga dengan Ekky Syahruddin yang sengaja datang dalam pertemuan itu, atas undangan Aenk Chaerudin, anggota KAHMI yang menjadi pengurus Pokja PPB. Namun ia meninggalkan pertemuan sebelum acara selesai setelah melihat situasi yang diwarnai ketegangan antara KPPB dan Pokja PPB.

Pada tanggal 5 Desember 1999, KPPB menggelar rapat akbar di Alun-alun Masjid Agung Banten Lama dengan tema "Melalui Munas Pembentukan Provinsi Banten Kita Tingkatkan Kesejahteraan Perekonomian Rakyat". Dalam kesempatan itu Aceng Ishak membacakan "Deklarasi Nasional Pembentukan Provinsi Banten". Dalam acara deklarasi yang dihadiri Uwes Qorny dan tokoh-tokoh KPPB ini, juga berhasil dikumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat yang hadir di alun-alun, di atas kain spanduk sepanjang 25 meter. Teks Deklarasi yang dirancang oleh Tim KPPB itu berbunyi sebagai berikut:

"Kami Rakyat banten dengan ini menyatakan bahwa Provinsi Daerah Tingkat I Banten sudah saatnya dibentuk. Hal-hal lain yang menyangkut legalisasi hendaknya diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam tempo secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan kami. Amien."

Dalam rekomendasi KPPB disebutkan bahwa KPPB adalah satu-satunya wadah masyarakat Banten untuk memperjuangkan Provinsi Banten. Mungkin hal ini bisa dianggap sebagai tindakan mengesampingkan Pokja PPB yang diketuai KH. Irsyad Djuwaeli atau menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan antara Pokja PPB dengan KPPB, terutama menyangkut Ketua Umum kedua organisasi ini. Menurut beberapa sumber kedua organisasi ini memang berkompetisi untuk mendapat pengakuan sebagai satu-satunya wadah untuk memperjuangkan Provinsi Banten.

Selanjutnya pada tanggal 7 Desember 1999, DPRD Kabupaten Lebak mengeluarkan Surat Keputusan persetujuan untuk PPB, diikuti kemudian pada tanggal 13 Desember 1999 DPRD Kota Cilegon menyampaikan keputusan yang sama. Suart-surat keputusan ini tentu saja ditembuskan ke DPRD Provinsi Jawa Barat dan DPR RI di Jakarta, sebagaimana juga surat keputusan dari DPRD Kabupaten Pandeglang.

Pada tanggal 16 Desember 1999, rombongan ulama dan tokoh masyarakat Banten baik formal maupun informal datang untuk menyampaikan aspirasi mereka ke Gedung Sate di Bandung. Selanjutnya, pada tanggal 20 Desember 1999, DPR RI mengadakan kunjungan kerja ke Bandung dan mempertanyakan masalah ini kepada Gubernur Jawa Barat. Dalam kesempatan itu, Gubernur menjelaskan bahwa peluang PPB cukup terbuka, asalkan itu merupakan keinginan masyarakat Banten, dan secara politis disetujui oleh DPRD setiap Kabupaten/Kota.

Pada tanggal 9 Januari 2000 diselenggarakan acara memperingati Haul Sultan Maulana Hasanudin di kediaman KH. Tb. A. Sadzili Wasi (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur'aniyah Banten) yang berada daam Komplek Masjid Agung Banten. Dalam kesempatan itu, Akbar Tanjung (Ketua DPR RI) menyatakan dukungan atas pembentukan Provinsi Banten. Sementara itu DPRD Kabupaten/Kota se-Banten yang telah menyetujui PPB adalah Serang, Pandeglang, Lebak, dan Cilegon. Tangerang saat itu masih belum memberikan persetujuan.

Selanjutnya di Bandung ketika Ketua DPR RI sudah menyatakan sikap mendukung PPB, DPRD Jawa Barat pun akhirnya menyetujui untuk dibentuknya Undang-Undang PPB. Namun, Gubernur Jawa Barat pada awal Januaru 2000 meminta kepada Bappeda Jawa Barat untuk mengadakan studi kelayakan bakal Provinsi Banten. Bappeda Jawa Barat meminta Kusnaka Adimihardja (Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran), Yudistira Garna (Guru Besar Antropologi Ahli Baduy dari Universitas Padjadjaran), dan Nina Herlina Lubis (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat) untuk membuat kajian sosial budaya dan sejarah Banten. Sebagai akademisi ketiga pakar membuat kajian yang obyektif sesuai bidang masing-masing.

Isu PPB terus bergulir dalam berbagai pertemuan formal maupun informal seperti pengajian, training pengkaderan aktivis, seminar, diskusi, serta pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. Dalam berbagai kegiatan ini pengembangan semangat korps, solidaritas, dan perasaan senasib sepenanggungan menjadi sesuatu yang penting. Perasaan ini dikembangkan para tokoh Banten dengan mengekspos etnisitas bahwa Banten itu berbeda dengan Priangan. Secara historis Banten mempunyai jalan sejarahnya sendiri yang berbeda dengan sejarah Priangan yang sempat dijajah Mataram. Sementara Banten sempat berjaya dengan kesultanannya. Bahkan sejak lama Banten dan Priangan itu berhadapan secara langsung maupun tidak langsung. Pada zaman kolonial para pamong praja Priangan dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam gerakan sosial yang mewabah di Banten pada abad ke-19 yang dijadikan sasaran adalah para pejabat kolonial dan pamong praja, dan permusuhan ini berlanjut sampai zaman kemerdekaan dengan pengusiran birokrat Priangan oleh kaum revolusioner Banten. Pada zaman Orde Baru malah Banten merasa dijajah kembali para birokrat Priangan yang menjadi para Bupati dan pejabat. Dengan format dan struktur politik yang bersifat sentralistis, penempatan pejabat-pejabat penting di daerah seperti Bupati dan Walikota sangat ditentukan oleh selera Pusat atau Provinsi sehingga tidak aneh jika jabatan-jabatan itu hampir selalu merupakan porsi pejabat dari Priangan. Dengan jabatan puncak di daerah yang dikuasai dari Priangan tidak sedikit jika rekrutmen pegawai pun banyak dari orang Priangan, sehingga KORPRI dipelesetkan menjadi "Korp Priangan". Ketua STAIN Hasanuddin mencontohkan bagaimana porsi pengisian pegawai di kampusnya menjadi sepenuhnya wewenang orang Provinsi tanpa ada kemampuan pihaknya untuk merekrut pegawai sesuai kebutuhannya. Wakil Ketua KPPB, Djajuli Mangkusubrata dihadapan Tim DPOD di Serang pernah menyatakan, "Rakyat Banten lebih baik hidup merdeka dalam Provinsi Banten sekalipun serba kekurangan dahulu daripada hidup serba ada tapi tetap 'dijajah' oleh Provinsi lain". Hal yang sama sebagaimana dikatakan Guru Besar UNTIRTA Suparman Usman, dengan mengutip pahlawan Filipina, Jose Rizal bahwa," Lebih baik hidup di neraka tapi merdeka daripada hidup di surga tapi dijajah".


Bersambung ke Bagian Empat.

Sumber: "Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Banten Iman Taqwa; Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004", Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.
Perjuangan Pembentukan Provinsi Banten di Era Reformasi (Bagian Ketiga) Perjuangan Pembentukan Provinsi Banten di Era Reformasi (Bagian Ketiga) Reviewed by Massaputro Delly TP. on Rabu, Februari 09, 2011 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
close