SELAIN mempersiapkan fisik jika ingin menginap di Kampung Baduy, kita juga harus siap untuk menghormati dan mematuhi peraturan adat yang berlaku di kawasan ulayat masyarakat Baduy. Paling tidak mematuhi peraturan yang dibuat Jaro (Kepala Desa) Kanekes, Dainah, bagi pendatang yang akan memasuki wilayahnya.
Aturan bagi pendatang antara lain larangan membawa tape atau radio, tidak membawa gitar, tidak membawa senapan angin, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak meninggalkan api di hutan, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila.
Khusus untuk warga asing, diharamkan untuk masuk ke wilayah Baduy Dalam yang warganya selalu berpakaian putih, yakni wilayah Kampung Cibep-Cikartawana-Cikeusik. Orang asing hanya diizinkan masuk hingga ke wilayah Baduy Luar yang warganya selalu berpakaian hitam.
Sementara itu, pada bulan Kawalu (masa panen tiga bulan berturut-turut pada bulan Februari hingga April), Baduy Dalam ditutup sama sekali untuk semua orang luar. Namun, bagi pengunjung pada bulan Kawalu tetap bisa bertemu dengan warga Baduy Dalam saat keluar dari kampung mereka.
Adat Baduy yang sangat membatasi sentuhan dengan dunia modern, terutama pada listrik, dan peralatan elektronik lainnya juga memaksa pengunjung yang akan menginap harus melengkapi peralatan yang relatif banyak, terutama membawa senter untuk memudahkan saat ke kamar kecil pada malam hari.
Jaket cukup membantu untuk mengusir hawa dingin di perkampungan Baduy yang memiliki ketinggian di atas 500 meter di atas permukaan laut ini. Kantong tidur pun tidak ada salahnya dibawa untuk membantu menghangatkan badan ketika tidur pada malam hari.
Baca Juga: Pengertian dan Kebutuhan Survival
Malam di Baduy sangat dingin. Rasa dingin itu sangat menusuk tulang karena warga Baduy tidurnya di lantai panggung, bukan di atas dipan. Angin tidak hanya dirasakan dari embusan di atas, tetapi juga dari bawah rumah panggung. yang masuk dari sela dinding bilik bambu.
Apabila datang ke Baduy di musim hujan, pengunjung sebaiknya menggunakan alas kaki yang cocok dipakai di tanah licin dan berlumpur. Sepatu atau sandal gunung direkomendasikan untuk dipakai karena solnya telah didesain mampu ”mencengkeram” ketika berpijak sehingga tidak mudah tergelincir, apalagi di jalan menanjak.
Jangan lupakan pula jaket atau jas hujan dan tudung tas yang kedap air untuk melindungi barang bawaan agar tidak basah. Minyak antinyamuk silakan pula dibawa untuk menghalau serangga tersebut, terutama ketika kita hendak berjalan-jalan ke hutan atau perladangan Baduy.
Tak sulit menjangkau kawasan permukiman Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, karena jaraknya hanya 130 kilometer dari Kota Jakarta. Perkampungan ini sangat tepat untuk menjadi oase bagi warga yang hendak menghilangkan kepenatan suasana kota besar yang penuh dengan kebisingan dan polusi.
Sebagai perkampungan yang warganya masih memegang teguh peraturan adat, Kampung Baduy sangat tenang dan damai. Sepanjang hari kita hanya akan menikmati dering tonggeret, kicau burung, dan gemercik air yang dipelihara warga sebagai sumber kehidupan.
Kalaupun terdengar suara, itu juga suara dari aktivitas warga yang tengah memainkan peralatan tenun atau suara alu dan lesung warga yang tengah menumbuk kopi atau padi. Suara itu biasanya nyaring terdengar pada pagi hari saat kaum perempuan Baduy melakukan aktivitas di rumah sebelum berangkat ke ladang.
Ketenangan dan keasrian di dalam perkampungan Baduy terlihat dari jalan beralas batu-batuan. Jalan tersebut ditata rapi, termasuk juga susunan batu untuk menguatkan tebing di sejumlah sudut permukiman. Lumut yang menyelimuti bebatuan itu memberi kesan hijau, sekaligus kuno. Ditambah kabut yang turun di perkampungan itu sehingga memberikan suasana batin yang nyaman.
Pada malam hari, ketika tidak ada mendung, perkampungan Baduy bisa menjadi tempat ideal menikmati bintang di langit. Di perkampungan Baduy, yang gelap karena ketiadaan listrik, setiap warga atau pelancong bisa melihat bintang.
Asyiknya lagi ketika hari mulai merambat malam, para pelancong bisa menikmati merdunya suara jangkrik, serangga lain, dan burung hantu.
Baca Juga: Perlengkapan Perjalanan Di Alam Terbuka
Banyak alternatif
Apabila Anda tertarik mengunjungi Baduy, tidak perlu khawatir. Banyak jalan menuju ke kampung alam tersebut. Salah satunya adalah melewati Tol Jakarta-Merak, lalu berbelok ke arah Rangkasbitung. Selain itu ada jalan alternatif lainnya, yakni melalui pintu tol di Balaraja, kemudian meniti ruas Jalan Cikande. Bisa juga lewat pintu Tol Serang Timur, kemudian mengambil jalan ke arah Rangkasbitung.
Namun, jika Anda tak ingin berkendaraan, bisa menggunakan transportasi kereta. Naik kereta dari Jakarta menuju Stasiun Rangkasbitung. Turun di Stasiun Rangkasbitung, kemudian naik kendaraan ke arah kawasan wisata budaya Baduy.
Tak perlu khawatir untuk tersesat karena Anda bisa bertanya kepada warga di sepanjang jalan. Mereka umumnya sangat terbuka untuk membantu menunjukkan arah ke Baduy.
Untuk memasuki permukiman Baduy, warga disarankan terlebih dulu melaporkan kedatangannya ke Jaro (Kepala Desa) Kanekes, yang saat ini dijabat Dainah. Lokasi rumah Jaro Kanekes ini ada di Kampung Kaduketug, sekitar 300 meter dari Terminal Ciboleger, yang menjadi tempat akhir kendaraan rute Rangkasbitung-Ciboleger.
Ada sejumlah agen perjalanan dan wisata yang melayani perjalanan ke Baduy. Namun, bagi yang datang secara pribadi atau keluarga, bisa meminta bantuan dari pemandu setempat, yang dapat ditemui di sekitar Terminal Ciboleger.
Pemandu setempat memiliki kelebihan, terutama karena lebih mengenal seluk-beluk medan dan kenal dengan banyak warga Baduy. Selain itu, mereka pun fasih berbahasa Sunda sehingga dapat memperlancar komunikasi dengan warga Baduy.
”Agen yang membawa turis asing pun sering melibatkan kami. Jadi, pemandu dari Jakarta atau yang ada di sini sama saja pengetahuannya,” kata Agus Bule, seorang pemandu.
Selain rumah singgah, pengunjung pun dapat menginap di rumah-rumah penduduk. Tentunya dengan lebih dahulu melaporkan keberadaannya kepada Jaro.
Khusus untuk kebutuhan makan harian, para pengunjung dapat makan di rumah warga. Biayanya tergantung kerelaan masing-masing pihak. Namun, terbuka kemungkinan pengunjung membawa bahan makanan mentah, seperti beras, ikan asin, telur asin, dan sebagainya. Bahan mentah itu kemudian diserahkan kepada pemilik rumah untuk diolah dan disantap bersama tuan rumah.
Namun, hal lain yang juga mesti diperhatikan adalah soal kamar mandi untuk keperluan ke belakang. Jangan bayangkan senikmat di hotel, losmen, atau rumah kita. Mengingat kampung ini masih tradisional, kondisi MCK sangat jauh dari nyaman. Di salah satu rumah warga Baduy Luar, tempat kami menginap, misalnya, untuk buang air besar atau kecil masih menggunakan bambu panjang untuk mengalirkan kotoran buangan ke arah tebing di belakang rumah. Namun, untuk sebuah petualangan alami, tentunya tetap menarik, kan?
Mandiri pada sandang
Namun, selama menelusuri wisata Baduy ini ada sesuatu yang menarik untuk dipelajari, yakni bagaimana warga Baduy menjadi masyarakat mandiri. Mereka bukan hanya mampu menjaga adat istiadat secara kuat, melainkan juga bisa menyediakan kebutuhan mereka sendiri, mulai dari baju, makan, sampai kebutuhan hidup lainnya.
Ada sensasi tersendiri ketika melihat pembuatan tenun khas Baduy. Pengunjung bisa melihat proses pemintalan benang hingga tenun. Pengunjung pun dapat melihat proses pemotongan, pencelupan, dan penjemuran ketika membuat baju jamang.
”Khusus jahit, biasanya kain yang telah dipotong dibawa ke Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam punya metode sendiri ketika menjahitnya,” ujar Sarmidi, warga setempat.
Hasilnya berupa baju pangsi warna hitam dan putih, selendang, syal, serta sarung. Dalam acara adat, warga Baduy menggunakan beberapa hasil tenunan itu. Pengunjung yang berminat bisa membelinya langsung dari warga setempat dengan harga bervariasi.
Baju lengan panjang warna hitam yang lazim disebut jamang dijual Rp 65.000, syal Rp 40.000, ikat kepala Rp 45.000, atau sarung Rp 60.000. Ada juga tas dan gelang dari anyaman kulit kayu teureup yang dijual Rp 60.000 dan Rp 10.000. Pengunjung pun bisa membeli madu hutan asli dengan harga Rp 60.000 ukuran 1 liter dan Rp 30.000 ukuran 0,5 liter.
Bila ingin mendapatkan oleh-oleh lainnya, pengunjung juga bisa mengunjungi pasar khusus di Terminal Ciboleger. Kios-kios ini biasanya dikelola oleh masyarakat luar Baduy, yang tinggal di sekitar permukiman Baduy. Di sana dijual kaus bertema Baduy, topi bundar yang biasa digunakan untuk berladang, tas dari karung, hingga golok.Ternyata telepon genggam pun kini telah masuk dan dimanfaatkan sebagian warga Baduy Dalam di Kampung Cipaler, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, meski banyak di antaranya masih secara sembunyi-sembunyi.
Terlepas dari adanya pengulangan dan salah ketik dalam pesan tersebut—semisal diantosan ditulis dengan diatosan, dan Kuranji ditulis kurayni—pengiriman pesan secara tertulis tersebut sedikit mengagetkan. Itu karena sering dikabarkan bahwa warga Baduy tak pernah bersekolah, sebab secara adat memang dilarang. Lalu bagaimana cara mereka bisa baca tulis?
Ketika hal ini ditanyakan, beberapa warga hanya tersenyum dan menggumam, seperti malu-malu, bahwa kemampuan membaca itu mereka pelajari sendiri saja.
Barulah kemudian dari Lilik (30), seorang warga Kampung Kaduketug yang memiliki warung didapat jawaban lebih terang. Mereka belajar membaca secara mandiri dengan mencermati bungkus rokok dan kemasan makanan minuman yang ada mereknya. ”Misalnya ada rokok merek Gentong. Kami ingat-ingat kalau Gentong itu tulisan g-nya seperti itu, e-nya seperti itu,” katanya. Huruf-huruf itu mereka banding-bandingkan dengan yang ada di merek lain. Mereka ingat-ingat bentuk huruf itu. Dunia aksara pun terbuka untuk mereka.
Belajar sendiri dengan cara ini jelas butuh waktu. Lilik butuh waktu belajar hingga tiga tahun. Menurut penjelasannya, keinginan bisa membaca itu tumbuh dari dirinya sendiri ketika ia berumur 13 tahun.
Dengan bisa baca tulis, Lilik pun mampu membaca nota. ”Kalau beli barang-barang di Rangkas (Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak) jadi mudah. Menghitung uang pun bisa,” kata lelaki yang dalam sebulan bisa empat kali ke Rangkas untuk kulakan barang ini.
Namun, sama halnya dengan dirinya yang tak dipaksa untuk belajar agar bisa membaca, Lilik pun tak mau memaksa anaknya segera bisa membaca. Ia membiarkan keinginan untuk membaca itu tumbuh sendiri. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bangga ketika sejurus kemudian ia berkisah bahwa anaknya sudah bisa menulis huruf penyusun namanya ketika masih berumur 8 tahun. ”Saya ajari dikit-dikit pas ia mau,” kata Lilik yang juga mengaku bisa mengakses internet lewat ponsel atau warnet di luar perkampungan Baduy ini.
Kemampuan membaca secara otodidak ini hanya satu dari sekian kemandirian yang dimiliki warga Baduy. Rumah dan jalan-jalan yang ada di dalam permukiman Baduy mereka bangun sendiri tanpa bantuan dari luar. ”Kecuali kalau ada musibah, seperti kebakaran beberapa waktu lalu, kami mau dibantu. Tapi seperlunya saja,” kata Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes.
Sejauh bisa ditangani, warga Baduy akan mengerjakan sendiri pemenuhan kebutuhannya. Untuk membangun rumah pun mereka menggunakan bahan yang banyak terdapat di sekitar, mulai dari kayu, bambu, hingga daun-daun sebagai atapnya.
Kebutuhan makan pun dicukupi dari hasil panenan padi di ladang. Baru ketika hasilnya tidak cukup, mereka membeli beras dari luar. Sayuran pun berlimpah. Akan halnya barang seperti garam atau ikan asin, dapat pula mereka beli dengan uang hasil penjualan hasil kebun seperti buah-buahan.
Ini pula yang dilakukan Idong, warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo. Dengan berjalan kaki, turun naik bukit, ia memikul 14 butir durian untuk dijual ke Pasar Ciboleger. Satu butir durian dijualnya Rp 10.000.
Di hari lain, warga dapat pula menjual hasil bumi seperti petai yang kini per biji laku dijual Rp 500, atau pisang yang per sisir Rp 5.000. Kearifan warga Baduy menjaga alam terbayar dengan banyaknya sumber rezeki di lingkungan sekitar yang dapat dimanfaatkan warga.
Hari-hari Asti (40), warga Cipaler, misalnya, diisi kegiatan mencari lahan untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi ia membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dia cetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.
Begitu fajar merekah, entakan alat tenun pun terdengar dari seantero kampung. Di salah satu rumah, Ambu Amin, perempuan yang menilik dari kerut wajahnya berusia di atas 60 tahun, masih tekun menenun benang untuk dijadikannya kain.
Di rumah lainnya, Sarni yang masih berusia 10 tahun pun mulai belajar menenun dari bibinya. Disebabkan masih belia, Sarni pun hanya ditugasi membuat tenunan ukuran kecil, yakni selendang. Keterampilan menenun bagi masyarakat Baduy diwariskan turun-temurun. Di antara mereka saling mengajari, sehingga sampai kini pun mudah ditemui alat tenun di banyak rumah warga.
”Dulu untuk mewarnai kain agar hitam dipakai kulit jengkol. Kalau sekarang sudah memakai pewarna buatan,” kata Sarmidi, warga yang berprofesi sebagai tukang celup tenun.
Selain faktor keawetan warna dari kelunturan, mulai sedikitnya pohon jengkol merupakan salah satu penyebab beralihnya jenis pewarna tenun.
Sama halnya dengan keterampilan menenun, kemampuan Sarmidi untuk mencelup pun diwarisi dari orangtuanya. Hal yang sama terjadi di ladang ketika kemampuan bercocok tanam pun diperkenalkan kepada anak-anak yang sering kali ikut berladang. Pola seperti ini menjamin beragam keterampilan bisa dipelajari secara mandiri di dalam lingkungan Baduy untuk akhirnya bisa lestari hingga kini.
Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja mengatakan kemadirian mereka adalah bentuk pendidikan yang dimiliki masyarakat Baduy.
Meski tidak mengeyam pendidikan formal, mereka memiliki bekal untuk hidup dengan aktivitas yang rutin mereka jalani setiap hari.
Baca Juga: Prinsip Dasar Menghormati Alam
Baduy, "Negara" Tanpa Kelaparan
Punggung Gunung Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Selasa (16/3) pagi, berangsur terang ketika matahari menyembul di langit timur. Udara masih dingin ketika satu demi satu warga mulai keluar dari pintu rumahnya.
Aktivitas pagi masyarakat Baduy pun kembali berjalan. Asap keluar dari atap rumah warga, pertanda perempuan Baduy mempersiapkan makan dan bekal buat ke ladang. Sebagian perempuan lainnya menumbuk bulir padi dan biji kopi. Setelah semua beres, mereka bersama suami dan anak-anak berangkat ke ladang. Sementara perempuan yang tinggal di rumah mulai dengan aktivitas menenun.
Dari kejauhan di pinggir kampung, seorang lelaki berbaju putih terlihat memikul buntalan mendaki jalan setapak yang menanjak di Kampung Cipaler. Lelaki bernama Idong itu hendak pulang ke Desa Cibeo setelah malam sebelumnya menginap di Ciboleger untuk menjual buah.
Baju putih yang dia kenakan adalah pakaian khas warga Baduy Dalam, yang tinggal di tiga kampung di Kanekes; yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Tak berselang lama, satu keluarga yang kesemuanya berpakaian hitam bergegas hendak ke ladang. Mereka adalah bagian dari masyarakat Baduy Luar yang tinggal di 56 kampung di Kanekes. Baju hitam adalah
Sepintas Desa Kanekes yang hingga Maret 2010 dihuni 11.175 jiwa warga Baduy ini tak beda dengan desa-desa lainnya. Mereka tinggal di rumah panggung, lantainya berada sekitar 50 sentimeter di atas tanah. Dindingnya bambu, atapnya anyaman daun kelapa.
Sejumlah literatur menyebut orang Baduy keturunan pengikut Kerajaan Padjadjaran
Kekhasan permukiman Baduy terlihat dari bentuk rumah yang nyaris seragam. Hanya ada sedikit ruang yang tersisa antarbangunan rumah, sedangkan rumah-rumah Baduy umumnya tidak berjendela. Rumah mereka juga tidak memiliki jaringan
Aturan adat berlandaskan nilai-nilai adat moyang mereka, yaitu tradisi Sunda Wiwitan. Tradisi itu menjadi pegangan dan pengetahuan masyarakat Baduy. Hingga saat ini adat tersebut masih tetap dijaga.
Termasuk pula di antaranya falsafah yang tergambar dalam peribahasa Baduy, Lojor teu menuang dipotong, pondok teu menang disambung, kurang teu menang ditambah, leuwih teu menang dikurang. Arti harfiahnya adalah ”panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, kurang tidak boleh ditambah, dan lebih tidak boleh dikurang”.
Sampai sekarang masyarakat Baduy Dalam masih berjalan kaki ke mana pun mereka pergi, termasuk hingga ke Jakarta.
”Masyarakat Baduy tidak ada yang terlihat kaya, tapi juga tidak ada yang miskin. Di sini tidak ada pengangguran ataupun kelaparan,” ujar Jaro Pamarentahan (Kepala Pemerintahan) Baduy Dainah.
Meski banyak yang berprofesi sebagai perajin kain tenun, penjual gula aren, atau memiliki warung penjual barang kebutuhan keluarga sehari-hari, warga Baduy selalu menganggap bahwa berladang adalah pekerjaan utama dan kewajiban.
Dalam berladang, mereka memiliki kebiasaan yang dijalankan turun-temurun. Mereka antimenggunakan pupuk
Hingga sekarang pun mereka kukuh mempertahankan kawasan hutan dan tak hendak mengubahnya untuk kepentingan
Ketika jumlah warga terus bertambah, kebutuhan ladang untuk bertanam padi pun meningkat. Alih-alih mengubah hutan lindung untuk ladang, sebagian warga Baduy lebih memilih membeli tanah di luar kawasan Baduy. Setidaknya 700 hektar ladang di luar kawasan Baduy saat ini dimiliki warga. ”Selain itu, juga banyak yang menyewa, lebih luas lagi dibandingkan yang sudah dibeli warga,” ujar Jaro Dainah. Sistem bagi hasil dilakukan antara warga Baduy yang menyewa serta menggarap ladang dan pemilik tanah.
Sekitar tahun 1980-an, tanaman albasia pun mulai banyak ditanam warga Baduy. Sekarang pun tanaman albasia yang bibitnya mulai ditanam di sela-sela padi ladang ini dipetik hasilnya oleh warga Baduy setiap lima tahun sekali ketika ladang selesai di-beura, dibiarkan tidak ditanami setelah lewat tiga kali musim panen.
Kayu albasia hasil budidaya ini biasa dijual warga kepada bos pengumpul, yang sebagian juga orang Baduy, untuk kemudian dikirim ke pembeli di luar daerah. Sebatang kayu albasia umur lima tahun bisa laku
Keseharian warga dalam bekerja itu berjalan dalam bingkai adat yang terjaga. Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran Johan Iskandar mengatakan, Baduy mengenal dua sistem pemerintahan: nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan adat yang mengikuti adat istiadat.
Secara nasional, di Baduy ada Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes yang kini dijabat Dainah. Sementara itu, pimpinan adat tertinggi masyarakat Baduy dipegang oleh tiga puun yang tinggal di tiga tempat Baduy Dalam. Puun Cikeusik mengurus keagamaan, Puun Cibeo mengatur hubungan dengan daerah luar, serta Puun Cikertawana mengurus pembinaan warga, kesejahteraan, dan keamanan masyarakat Baduy.
Dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku puun diatur ketat. Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja menjelaskan, puun harus mengayomi masyarakat
Ia mengatakan, puun harus mengayomi masyarakat Baduy dari dalam. Bahkan, hingga kepemilikan rumah, puun harus memiliki rumah paling sederhana. Mampu melayani masyarakatnya dengan baik adalah penghargaan terbesar seorang puun di Baduy.
”Inilah figur pemimpin sebenarnya. Masyarakat adat Baduy ibaratnya negara sejahtera
Masa kekuasaan seorang
Selain itu, pergantian seorang puun juga tergantung dari kondisi alam. Jika sering muncul bencana alam yang menimpa warga Baduy atau panen rakyat gagal terus, menjadi alasan kuat untuk turunnya seorang puun. Warga Baduy meyakini keberhasilan pemimpin berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, mereka juga dikenal sebagai komunitas mandiri yang menghidupi diri sendiri, tetapi melimpahkan rezeki bagi warga sekitar mereka.
Mahfudin, warga Kampung Cicakal, yang berada di luar kawasan Baduy, misalnya, tiap minggu pasti memboncengkan penumpang yang hendak berkunjung ke Baduy. Sekali mengantar dari Desa Kuranji ke Parigi, dia memperoleh Rp 30.000.
Hila, seorang pemilik toko di kawasan Ciboleger, pun dapat mencari rezeki dengan menjual kerajinan dan kain khas Baduy kepada pengunjung. ”Kalau pas ramai pengunjung, seperti akhir pekan atau ketika liburan sekolah, per hari bisa ratusan ribu rupiah,” katanya.
Warga Baduy membuktikan bahwa ada korelasi antara alam yang terjaga dan kehidupan yang sejahtera, bagi mereka dan bagi warga di sekitarnya.Berdasarkan pantauan pada hari Kamis (18/3), longsornya separuh badan jalan di Cibengkung itu memaksa kendaraan melintas bergantian. Pasalnya, badan jalan yang tidak longsor hanya cukup dilewati satu mobil.
Menurut warga sekitar, longsornya jalan penghubung dari Kecamatan Bojongmanik ke Kecamatan Leuwidamar tersebut sudah terjadi sejak dua bulan lalu, seiring kerapnya hujan deras di daerah itu. ”Sudah banyak yang memeriksa, tapi enggak tahu kapan jalan ini diperbaiki,” kata Ningsih, seorang warga.
Sampai saat ini hanya terlihat papan penunjuk jalan yang mengimbau warga berhati-hati karena ada jalan longsor. Papan penunjuk jalan tersebut dipasang sekitar 5 meter sebelum lokasi jalan yang longsor.
Warga dan pengguna jalan berharap ruas yang longsor tersebut segera diperbaiki karena membahayakan, terlebih ketika malam hari saat pencahayaan di sekitar lokasi kurang. Apalagi titik longsor itu merupakan bagian dari ruas jalan yang sudah beraspal, suatu kondisi yang acapkali mendorong pengendara memacu kendaraan dengan cepat karena halusnya permukaan jalan.
Agus, seorang pemandu bagi pengunjung yang hendak ke kawasan Baduy, menuturkan, ruas itu merupakan salah satu jalur yang sering dilewati wisatawan, terutama saat libur sekolah. Pengunjung yang datang dari arah Jakarta dan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, sering melewati tempat tersebut ketika hendak ke Baduy.
Sekitar satu setengah bulan hingga dua bulan ke depan, kawasan Baduy diperkirakan akan didatangi wisatawan yang ingin menyaksikan acara seba, yakni ritual adat penyerahan berbagai hasil bumi dari warga Baduy kepada kepala daerah.
Akibat longsornya jalan di Cibengkung, saat ini hanya kendaraan angkutan kota dan minibus yang dapat melewati ruas yang longsor itu. Cepat diperbaikinya jalan di Cibengkung tersebut akan memperlancar kendaraan yang melaju dari dan ke kawasan Baduy.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Lebak Alkadri menuturkan, lokasi longsor di kawasan Cibengkung tersebut memang rawan dan beberapa kali longsor. ”Informasinya di sekitar situ ada urat sungai. Dulu pun pernah longsor ketika hujan, lalu diperbaiki, tetapi longsor lagi,” katanya.
Menurut Alkadri, pemerintah berupaya secepatnya memperbaiki ruas jalan yang rusak itu. ”Kami akan upayakan secepatnya. Kemarin sudah diukur-ukur, semoga dalam waktu dekat sudah dapat diperbaiki,” katanya.
Menurut Alkadri, kendaraan ukuran besar yang akan ke kawasan Baduy untuk sementara terpaksa memutar lewat Cisimeut. ”Jalannya bagus, tetapi harus memutar dengan selisih sekitar 7 kilometer dibanding kalau lewat Cibengkung,” katanya."Perayaan ini penuh khusyuk dan berdoa meminta kondisi negara aman, damai, dan sejahtera," kata Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Sarpin, saat dihubungi di Rangkasbitung.
Sarpin mengatakan, perayaan kawalu bagi warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo dan Cikawartana, Desa Kanekes, sedangkan Kampung Cikeusik sudah merayakan pada hari Kamis (4/3/2010).
Ketiga perkampungan Baduy Dalam tersebut digelar dengan penuh sederhana.
Warga merayakannya dengan penuh khidmat dan khusyuk sambil berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. "Kalau negara ini aman dan damai tentu masyarakat akan sejahtera," katanya.
Dia meminta selama kawalu berlangsung, pengunjung dilarang masuk ke perkampungan Baduy Dalam karena sedang melaksanakan ibadah setelah puasa seharian.
Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya sebagai aparat pemerintah telah memasang peringatan di pintu gerbang Baduy di Ciboleger agar pengunjung menaati hukum adat.
Sebab, tradisi kawalu merupakan keputusan adat yang harus dilaksanakan setiap tahun, dirayakan tiga kali selama tiga bulan dengan puasa seharian.
Perayaan kawalu merupakan salah satu tradisi ritual yang dipercaya oleh warga Baduy Dalam sehingga perlu menghargai dan menghormati keyakinan agama yang dianut mereka.
"Selama melaksanakan kawalu, kondisi kampung Baduy Dalam sepi karena mereka berpuasa dan banyak memilih tinggal di rumah-rumah," katanya.
Wakil Lembaga Hukum Adat Baduy Dalam, Ayah Mursid, mengaku, pihaknya memohon maaf karena selama perayaan kawalu perkampungan Baduy Dalam meliputi Cikawartana, Cikeusik, dan Cibeo tertutup bagi pengunjung, sekalipun itu pejabat daerah ataupun pejabat negara. "Kami menjalankan kawalu karena peninggalan adat dan harus ditaati," katanya.
Menurut dia, setelah berakhir perayaan kawalu, tentu pengunjung kembali diperbolehkan mendatangi kawasan Baduy Dalam.
Dia menjelaskan, setelah kawalu, satu bulan yang akan datang merayakan acara Seba dengan mendatangi bupati dan Gubernur Banten dengan membawa hasil-hasil bumi (pertanian). "Saat ini sebagian warga Baduy sudah panen padi huma," katanya.
Dia menambahkan, perayaan Seba itu sebagai salah satu bentuk silaturahim yang harus dijalin dengan baik kepada pemerintah.
Sumber : travel.kompas.com
Tidak ada komentar: