Untuk kesekian kalinya dapat berkunjung dan menunaikan sholat di Masjid Menara Kudus, dimana di lingkungn masjid inilah terdapat salah seorang wali Allah SWT dalam menyiarkan syiar Islam di tanah Jawa. Beliau adalah Syech Jaffar Shadiq atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus.
Masjid Menara Kudus dan Makam Sunan Kudus selalu ramai dikunjungi para peziarah, baik lokal maupun dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Infrastruktur untuk para peziarah atau pengunjung sudah sangat baik, untuk parkir kendaraan pribadi dan bis sudah tersedia sedikit di luar kawasan, tetapi ngak jauh kock, hanya sekitar 100-200 meter saja dari Masjid Menara Kudus ini. Sedangkan untuk pengunjung/peziarah yang mempergunakan sepeda motor dapat diparkir di sebelah kiri masjid, free alias ngak bayar. Pada saat akan memasuki pintu gerbang masjid untuk parkir motor, terdapat tulisan larangan untuk menaiki dan menghidupi motor, jadi hendaknya turun, mematikan mesin motor, dan menuntunnya memasuki lahan parkir motor.
Sedangkan untuk memasuki Makam Sunan Kudus yang terletak tepat di belakang Masjid, untuk masuknya dari parkiran motor lurus terus ke arah kanan, dan nanti akan dipandu dari pihak Masjid. Kondisi jalan setapak melewati pemakaman sudah tertata rapi pula, dan tentunya kebersihan sangat dijaga disini.
Yang hobi membeli oleh-oleh dan cinderamata juga banyak terdapat di area parkiran mobil dan sepanjang jalan menuju Masjid Menara Kudus. Satu lagi, tapi ini belum sempat penulis berkunjung kesini selama ini, ternyata tidak jauh dari Masjid Menara Kudus terdapat "klenteng Budha", tepat di Jalan Sunan Kudusnya. Tentunya klenteng ini sudah "berumur" juga, disini terlihat toleransi beragama yang sangat tinggi. Lain kali "wajib" berkunjung kesini.
Tentang Sunan Kudus
Sumber : atifhidayat.wordpress.com
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Bangunan Makam Sunan Muria
Salah satu pintu kembar di dalam masjid
Bangunan Masjid yang mengadopsi candi Hindu dalam rangka menarik Masyarakat Hindu pada saat itu
Sunan Kudus, Seorang Pendakwah dan Panglima Perang
Reviewed by Massaputro Delly TP.
on
Sabtu, Agustus 25, 2012
Rating:
Tidak ada komentar: