Kampung Cibeo, salah satu perkampungan suku baduy dalam, ditetapkan sebagai kampung pengunjung, artinya menjadi objek kunjungan dunia luar untuk melihat penghidupan suku asli banten, Suku Baduy.
Bukan berarti kampung-kampung lain di Baduy Dalam tidak boleh, boleh saja, tetapi yang secara terbuka menerima adalah Kampung Cibeo ini.
Tidak afdol rasanya, bertahun-tahun tinggal mendulang rezeki di tanah Banten, tanah para jawara, tetapi belum menginjakan kaki di Baduy Dalam.
Baca juga:Ada beberapa catatan saya terkait kehidupan Suku Baduy Dalam, hasil dari trekking bersama rekan-rekan Biro Pemerintahan Setda Provinsi Banten (16-17/11/2018), yaitu:
Biro Pemerintahan Banten: Trekking To Baduy Dalam
Pertama, sebagai obyek wisata budaya dan alam, pembenahan yang dilakukan pun melibatkan masyarakat setempat. Jalur trekking saat ini sebagian besar sudah berbatu, dilakukan oleh warga baduy luar dan dalam secara gotong royong. Masyarakat melakukannya perbaikan jalan setapak tersebut berdasarkan area kampung masing-masing. Hanya akses ke Baduy Dalam dan kawasan hutan lindung jalan masih berbentuk tanah. Tidak terlalu memberatkan untuk jalan curam dan basah bila hujan, kecuali pada "tanjakan cinta". Biasanya terdapat seutas tali atau tambang terpasang untuk membantu para trekking.
Kedua, masyarakat Baduy, baik Dalam maupun Luar sangat welcome terhadap pengunjungnya, mereka beranggapan kita adalah tamu yang wajib dijamu. Tetapi ingat, tetap mentaati larangan-larangan yang ada, seperti tidak boleh memotret atau merekam saat di Baduy Dalam atau larangan memasuki atau mendekati rumah Puun (Kepala Suku) serta tidak menggunakan sabun dan pasta gigi bila mandi di sungai mereka.
Ketiga, transformasi ilmu pun mereka pelajari secara otodidak, seperti membaca dan berkomunikasi berbahasa Indonesia. Walaupun mereka tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah. Seringnya interaksi dengan pengunjung dari luar mempengaruhi interaksi dan kesanggupan membaca tersebut. Terutama untuk generasi mudanya, atau yang berumur 20 tahunan. Setiap minggu, suku Baduy di Lebak tidak pernah sepi.
Keempat, efek interaksi tersebut juga mempengaruhi penggunaan uang sebagai alat pembayaran. Bila dahulu mereka mengenal sistem barter dalam berdagang atau memenuhi kebutuhan sehari-harinya, saat ini mereka sudah menggunakan uang Rupiah. Anak-anak mereka pun sudah mengenal "uang jajan". Bila siang hari, kadang kita jumpai pedagang dari luar kampung Cibeo, membawa jajanan-jajanan pasar, makanan ringan dan mainan kecil murah meriah. Bila mereka datang, berkerumunlah anak-anak kecil, jajan makanan dan membeli mainan, ada yang lima ratus rupiah, seribu rupiah hingga dua ribu rupiah atau lebih. Anak-anak ini sudah memegang uang sendiri, tanpa di dampingi oleh orang tuanya.
Kelima, tatkala pengunjung datang, rumah warga dipergunakan untuk menginap. Rumah panggung terbuat dari bilik bambu dan ditopang dengan kayu-kayu, hanya terdiri dari satu ruangan tengah dan satu dapur serta serambi di depannya. Biasanya, rumah yang sedikit besar dipergunakan sebagai penginapan wisatawan. Keramahtamahan mereka, bila ada pengunjung di rumahnya, tuan rumah rela untuk tidur di ruangan dapur (terutama untuk kaum hawanya) sementara ruangan utama/tengah sedang dipakai oleh pengunjung.
Keenam, cara kehidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berladang. Padi ladang dan palawija menjadi bercocok tanam utama mereka. Untuk warga yang mampu, mereka biasanya memiliki rumah kedua yang berada di ladang, bukan berada di pemukiman. Sehari, kadang dua hari, mereka tidak pulang, bermalam di ladang yang cukup jauh dari perkampungan. Rumah ladang ini pun dipergunakan oleh pengunjung bila keberadaannya lebih dari satu malam. Aturan adat hanya membolehkan pengunjung menginap satu malam saja di perkampungan, lebih dari itu, harus bermalam di luar kampung, alternatifnya adalah rumah ladang.
Baca juga: Kesejukan Alami, Bergelut Dengan Alam Suku Baduy Dalam
Ketujuh, dalam perjalanan menuju Kampung Cibeo, tentunya ditemui rumah-rumahan kecil berdiri dengan kaki-kaki panjang. Ya, itu adalah lumbung padi Suku Baduy. Ditempatkan sedikit keluar area perkampungan, cenderung mendekati area ladang. Walau terlihat berkelompok lumbung-lumbung tersebut, masing-masing lumbung dimiliki secara perseorangan, bukan sebagai lumbung bersama masyarakat. Mereka bangun sendiri lumbung tersebut untuk menampung hasil bumi, sebagai bahan simpanan untuk panen berikutnya. Isi lumbung akan dijual secara sedikit-sedikit untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti untuk membeli ikan asin sebagai lauk-pauk.
Sebuah perjalanan tidak hanya tentang tujuan, tetapi bagaimana petualangan perjalanan itu sendiri. Kata orang bule: "It's not the destination, but the journey".
Tujuan adalah bonus, kenikmatan proses perjalanan adalah sebuah petualangan.
7 Catatan Tentang Keramahtamahan Suku Baduy Dalam
Reviewed by Massaputro Delly TP.
on
Minggu, Maret 03, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: