Bila sebelumnya saya bercerita tentang perjalanan menuju Kampung Cibeo, salah satu perkampungan Suku Baduy Dalam di Lebak Banten. Kali ini, saya menceritakan sedikit pengalaman berada diantara orang-orang suku baduy dalam, di Kampung Cibeo (16-17/11/2018).
Baca juga:
Setelah menempuh perjalanan melelahkan tetapi dengan penuh kesenangan, setibanya kami di Kampung Cibeo pa agus berpesan, untuk tidak mendekati rumah Puun, memasuki areal pekarangannya saja tidak boleh. Ada batas terbuat dari bambu yang membatasi pengunjung untuk tidak mendekati rumah atau area Puun tersebut. Tentunya kami sangat patuh, seperti halnya tidak boleh mengambil gambar atau memfoto area perkampungan baduy dalam.
Kami sih tidak dilarang untuk menghidupkan hape, sinyal tentunya tidak ada, digunakan hanya untuk penerangan dan senter saja. Yah, kami harus dan harus menghormati apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berada di Kampung Cibeo ini.
Kami di tempatkan dalam tiga rumah, laki-laki dibagi dua menempati dua rumah, sedangkan perempuan khusus satu rumah tersendiri, sekaligus menjadi dapur untuk konsumsi kami. Satu rumah dengan rumah lainnya berdekatan.
Perjalanan yang melelahkan dan menguras keringat, tentunya segar sekali bila diguyur dengan air dingin asli sungai alam yang ada melintas di perkampungan ini. Setelah giliran laki-laki boleh ke sungai, sebelumnya kami sepakat untuk kaum perempuan dulu ke sungai tanpa direcoki oleh kaum laki-laki, menceburkan diri diantara bebatuan besar dan sedang, membentuk kolam-kolam kecil diantara aliran sungai, dingin menusuk tulang, tetapi menyegarkan seluruh badan.
Larangan menggunakan sabun mandi, sampo, dan pasta gigi memberikan alternatif menggunakan bebatuan untuk menggosok badan. Sikat gigi tanpa odol pun dilakukan untuk tetap menjaga kesegaran mulut. Luar biasa segarnya, air sungai bening yang sudah jarang ditemukan.
Bagi warga setempat, air sungai adalah sumber penghidupan mereka. Mandi dan kebutuhan air minum/memasak berasal dari sana. Bagi perempuan sebenarnya tersedia air pancuran di dekat sungai, tertutupi atau terlindungi dari semak-semak atau pepohonan randu, tetapi tidak seru bila tidak berjeburkan diri di sungai dangkal tersebut.
Bagi warga setempat, air sungai adalah sumber penghidupan mereka. Mandi dan kebutuhan air minum/memasak berasal dari sana. Bagi perempuan sebenarnya tersedia air pancuran di dekat sungai, tertutupi atau terlindungi dari semak-semak atau pepohonan randu, tetapi tidak seru bila tidak berjeburkan diri di sungai dangkal tersebut.
Sungai yang sama juga digunakan oleh penduduk setempat untuk mandi dan buang hajat. Terutama untuk buang hajat, usahakan ditempat air yang mengalir deras dan sedikit ke bawah mengikuti aliran air sungai. Melihat cara mereka mandi, suku baduy, cukup dengan berendam dan membasuh ala kadarnya ke badan mereka, selesai dalam hitungan menit.
Usai mandi dan bebersih, waktunya menunaikan sholat magrib, dan makan malam. Menu makan malam tidak jauh beda dengan menu makan siang sebelumnya, dan bekal makan malam ini pun memang sudah dibawa dari siang dari Ciboleger.
Setelah makan malam, waktunya berkumpul ngobrol-ngobrol. Sungguh indah malam bertabur bintang dan sinar rembulan, diantara suara-suara binatang malam, kami ngumpul di "alun-alun" kampung Cibeo. Berupa tanah kosong dan sekitarnya adalah rumah penduduk. Cukup luar lapangan, walau sebenarnya tidak bisa disebut lapangan juga, hanya tanah kosong diantara pemukiman dan masih banyak tumpukan bebatuan, besar dan kecil.
Ujung dari tanah kosong atau lapangan tersebut adalah rumah Puun.
Keesokan harinya, kesejukan alam nan asri pagi hari, tanpa polusi. Sambil menunggu sarapan siap, bila ada yang berkeinginan untuk mandi pagi, dipersilahkan, atau sekedar bebersih dan wudhu untuk menunaikan Sholat Subuh.
Makan pagi usai, saatnya untuk bersiap-siap meninggalkan Kampung Cibeo penuh dengan kenangan. Pengalaman tak terlupakan trekking bercanda dengan alam.
Jalur yang dilalui berbeda dengan waktu kedatangan, dimulai melewati sungai di kampung tersebut, terus menanjak menyusuri bebukitan, diantara jalan-jalan bersalut akar pepohonan. Kami tinggalkan keramahtamahan dan keasejukan alam Cibeo.
Ujung dari tanah kosong atau lapangan tersebut adalah rumah Puun.
Keesokan harinya, kesejukan alam nan asri pagi hari, tanpa polusi. Sambil menunggu sarapan siap, bila ada yang berkeinginan untuk mandi pagi, dipersilahkan, atau sekedar bebersih dan wudhu untuk menunaikan Sholat Subuh.
Makan pagi usai, saatnya untuk bersiap-siap meninggalkan Kampung Cibeo penuh dengan kenangan. Pengalaman tak terlupakan trekking bercanda dengan alam.
Jalur yang dilalui berbeda dengan waktu kedatangan, dimulai melewati sungai di kampung tersebut, terus menanjak menyusuri bebukitan, diantara jalan-jalan bersalut akar pepohonan. Kami tinggalkan keramahtamahan dan keasejukan alam Cibeo.
Kesejukan Alami, Bergelut Dengan Alam Suku Baduy Dalam
Reviewed by Massaputro Delly TP.
on
Minggu, Maret 03, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: