Fatwa halal tetap harus menjadi otoritas MUI dalam pengertian yang luas demi persatuan umat Islam Indonesia. Terkait fatwa MUI dalam proses sertifikasi halal, jika hal itu dianggap memperpanjang dan memperlama proses sertifikasi, maka yang perlu ditinjau ulang adalah keberadaan fatwa pada tahapan proses sertifikasi, bukan pada otoritasnya sebagai pemersatu umat Islam Indonesia.
Ini adalah salah satu simpulan dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) Umum Badan Legislasi DPR RI dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah atas RUU tentang Cipta Kerja terkait dengan kemudahan dan persyaratan investasi sektor keagamaan dan jaminan produk halal (11/06/2020).
RDP yang dilaksanakan secara virtual ini untuk mendapatkan masukan/pandangan dari MUI, PB NU, dan PP Muhammadiyah bahan pertimbangan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja terkait dengan kemudahan dan persyaratan investasi sektor keagamaan dan jaminan produk halal dan bahan penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) oleh fraksi-fraksi khususnya.
Selain hal di atas, diperoleh masukan atau pandangan bahwa sertifikasi Halal oleh MUI yang ditunaikan MUI selama lebih dari 30 tahun ini telah berjalan dengan baik dan mendapat kepercayaan dunia usaha, baik dalam maupun luar negeri. Kemudian, perlunya afirmasi kepada pengusaha kecil dan mikro yang diperlakukan berbeda dengan usaha menengah dan besar. Dalam pengurusan Jaminan Produk Halal (JPH), usaha kecil dan mikro dalam sertifikasi halal cukup dengan membuat pernyataan kehalalan makanan yang mereka produksi.
"Setiap pedagang dan pengusaha mikro maupun ultra mikro harus memperoleh sertifikat halal dari MUI secara mudah, agar para pelaku usaha tersebut tidak kesulitan dalam menjual setiap produk-produknya. Jika tidak ada keabsahan halal yang jelas, masyarakat jadi enggan untuk membeli yang nantinya membuat kerugian,” ujar Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhari Yusuf, dilansir indonesiaberita.com (12/06/2020).
Sebelumnya diketahui bahwa salah satu pasal dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menyebutkan penetapan kehalalan suatu produk bisa juga dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam. Saat ini, otoritas sertifikat halal dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah menginginkan adanya penghematan dalam proses sertifikasi halal.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan peluang kerja sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) dan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan demi mempercepat penerbitan sertifikasi halal.
“Muncul beberapa ide percepatan, bagaimana kalau tidak semata-mata MUI (yang menerbitkan sertifikasi halal), ada yang lain ikut membantu,” kata Fachrul dalam jumpa pers di Kantor Kemenag, Jalan Lapangan Banteng (18/02/2020).
Draf RUU Ciptaker, dijelaskan bahwa sertifikat halal merupakan pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. Fatwa halal sebelumnya hanya dikeluarkan oleh MUI. Kerja sama penerbitan sertifikasi halal diatur dalam Pasal 49 angka 3 RUU Ciptaker yang merevisi Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pasal tersebut menjelaskan, BPJPH dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal. Sebelumnya, kerja sama itu hanya berlaku BPJPH dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI, dikutip dari metrobatam.com (19/02/2020).
Pasal tersebut menjelaskan, BPJPH dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal. Sebelumnya, kerja sama itu hanya berlaku BPJPH dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI, dikutip dari metrobatam.com (19/02/2020).
Fatwa Halal Harus Menjadi Otoritas MUI
Reviewed by Massaputro Delly TP.
on
Selasa, Juni 16, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: